Museum Mahameru Blora

Museum Mahameru Blora
Museum Mahameru Blora

Minggu, 11 Juli 2010

Hampir Semua Fosil Gajah Purba Dievakuasi



Dalam pengupasan tahap kedua, Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengevakuasi 80 persen fosil gajah purba jenis Elephas hysudrindicus. Tim menemukan pula fosil tulang pinggul dan paha yang masih saling bertaut.

Ketua Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung Iwan Kurniawan, Jumat (1/5) di Blora, Jawa Tengah, mengatakan, fosil yang belum ditemukan adalah fosil tulang paha, kaki depan, dan rahang bawah. Kemungkinan fosil tulang-tulang itu berada di bawah fosil tulang-tulang lain.

”Kami menjumpai pula fosil tulang pinggul dan paha yang masih saling bertaut. Hal itu menegaskan teori gajah purba itu mati di lokasi temuan, bukan terbawa dan terendapkan arus Bengawan Solo purba,” kata Iwan menjelaskan.

Iwan menduga lokasi penemuan fosil gajah di Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, itu dahulu merupakan sedimen yang belum memadat atau masih labil.

”Gajah itu mati dalam posisi terjerembab atau terperosok endapan tanah. Kemungkinan lokasi temuan itu dahulu merupakan endapan lumpur Bengawan Solo purba,” kata Iwan.



Disimpan di museum

Pada pengupasan tahap pertama, Tim Vertebrata menemukan sekitar 30 persen fosil tulang gajah purba, antara lain fosil tengkorak, gading, lengan, belikat, dan paha. Fosil-fosil itu kini telah disimpan di Museum Geologi Bandung.

Pada pengupasan tahap kedua, tim menemukan 12 tulang ekor, tulang jari, 14 tulang rusuk, pecahan gigi, dan belikat. Tim sempat kesulitan memindahkan sejumlah fosil karena posisinya saling berdekatan dan saling menyangga.

Secara terpisah, ahli vertebrata Museum Geologi Bandung, Prof Fachroel Aziz, mengatakan, gajah purba yang ditemukan tersebut diperkirakan berusia dua juta tahun. Binatang itu masuk dalam kategori fauna Ngandong, seperti kerbau, kuda nil, babi, dan badak.

”Hewan itu hidup di savana atau padang rumput yang dilintasi Bengawan Solo purba pada zaman Pleistosen. Hal itu diketahui dari tipikal binatang-binatang itu yang suka berkubang di air,” kata Aziz.

Menurut dia, di Blora bagian selatan terdapat 5-7 endapan teras Bengawan Solo purba. Di dalam endapan itu terkandung fosil-fosil yang dapat menjawab teka-teki kehidupan zaman purba.

”Penemuan ini sangat penting. Karena itu, kami akan melanjutkan pengupasan fosil gajah itu untuk menjawab teori evolusi gajah purba sekaligus lingkungan hidupnya,” kata Aziz.

Penemuan Fosil Daun Purba di Blora Selatan



Fosil gading gajah purba (Stegodon elephas) yang kini ditempatkan di Museum Mahameru, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, retak dan pecah, Senin (12/1). Kerusakan itu terjadi pada saat pemindahan fosil dari Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, ke museum.

Menyusul penemuan fosil gajah purba, Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral kembali menemukan fosil daun purba.

Daun itu ditemukan di Dusun Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. ”Berdasarkan temuan-temuan itu, tampaknya kawasan Blora Selatan merupakan savana di zaman Pleistosen yang dilewati Bengawan Solo purba,” kata Ketua Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung Iwan Kurniawan, Sabtu (4/4) di Blora.

Fosil daun ditemukan di sekitar fosil gajah purba dan tercetak di batu lanau—terbentuk dari proses sedimentasi butiran lempung dan pasir. Dari ukuran daun yang relatif kecil, temuan gajah dan kerbau purba serta kontur sedimentasi di lokasi itu, tim memperkirakan, fosil itu dari zaman Pleistosen, 1.808.000- 11.500 tahun lalu.

Kepala Seksi Dokumentasi Museum Geologi Bandung SR Sinung Baskoro mengatakan, kawasan Blora Selatan banyak mengandung endapan teras Bengawan Solo purba yang menyimpan aneka fosil.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora Suntoyo mengatakan, Pemkab Blora menitipkan fosil itu di Museum Geologi Bandung.

Serahkan temuan

Seorang warga Kudus, Jawa Tengah, Sutodirono alias Rasimin (60), Minggu (5/4), menyerahkan temuan berupa 6 benda arkeologi, diduga dari abad ke-15, kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus.

Temuan itu berupa 3 buah mangkok berdiameter 13, 14, dan 15 sentimeter, ketinggian masing-masing 5 sentimeter. Dua benda lain menyerupai lepek dan sebuah miniatur rumah adat Minangkau.

Kepala seksi Sejarah Museum Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus Sancaka Dwi Supani mengatakan, ”Untuk menentukan umur, jenis benda, bahan baku pembuatan benda, dan sebagainya, kami akan mengundang tenaga ahli dari Museum Ronggowarsito Jawa Tengah di Semarang,” katanya. Rasimin mengaku benda-benda itu ditemukannya di bekas pertapaan Sunan Kalijogo beberapa tahun lalu

DAFTAR MUSEUM DI SELURUH INDONESIA

DJOGJAKARTA:
01. Museum Affandi, Jl. Laksda Adi Sutjipto
02. Museum Sono Budoyo, Jl. Trikora No. 6
03. Museum Kraton Jogjakarta, Komp. Kraton Yogyakarta
04. Museum Dewantara Kirti Griya, Jl. Tamansiswa
05. Museum Pendidikan Islam
06. Museum Biologi UGM, Jl. Sultan Agung
07. Museum Dirgantara Mandala, Komp. Angkatan Udara (AU) Yogya
08. Museum Perjuangan Jogja
09. Museum Sasmita Loka
10. Museum Pangeran Diponegoro, Jl. Wiratama
11. Museum Batik, Jl. Dr. Soetomo No. 35
12. Museum Yogya Kembali, Jl. Monjali
13. Museum Seni Jogja
14. Museum Wayang Kekayon, Jl. Raya Yogya – Wonosari Km. 7 No. 277
15. Museum Benteng Vredeburg, Jl. Jend. A. Yani No. 6
16. Museum Geoteknologi Mineral, Jl. Babarsari

JAWA TENGAH
01. Museum Ronggowarsito, Jl. Abdulrahman Saleh Semarang
02. Museum Jamu Nyonya Meneer, Jl. Raya Kaligawe Km. 4 Semarang
03. Museum Mandala Bhakti, Jl. Cokroaminoto 2 Semarang
04. Museum Rekor Indonesia (MURI), Jl. Setiabudi Srondol Semarang
05. Museum AKPOL, Komp. AKPOL Candi Baru Semarang
06. Museum Isdiman/Palagan, Jl. Mgr. Sugiyopranoto Ambarawa
07. Museum Kereta Api, Jl. Stasiun Kereta Api Ambarawa
08. Museum PKK, Ungaran
09. Museum Radyapustaka, Jl. Slamet Riyadi No. 235 Surakarta
10. Museum Pura Mangkunegara, Komp. Istana Mangkunegara Surakarta
11. Museum Suaka Budaya Kasunanan, Komp. Istana Kasunanan Surakarta
12. Museum Monumen Pers Nasional, Jl. Gajah Mada No. 29 Surakarta
13. Museum Batik Danar Hadi, Jl. Slamet Riyadi No. 261 Surakarta
14. Museum Prasejarah Sangiran, Ds. Krikilan Kalijambe Sragen
15. Museum Gula, Jl. Jogja – Solo Km. 25 Klaten
16. Museum Wayang, Wonogiri
17. Museum Tosan Aji Jawa Tengah, Jl. Mayjend. Sutoyo No. 10 Purworejo
18. Museum KP Diponegoro, Jl. P. Diponegoro No. 1 Magelang
19. Museum BPK RI, Jl. P. Diponegoro No. 1 Magelang
20. Museum Sudirman, Jl. Ade Irma Suryani C.7 Magelang
21. Museum AJB Bumi Putera 1912, Jl. A. Yani No. 21 Magelang
22. Museum Taruna ‘Abdul Djalil’, Jl. Gatot Subroto Magelang
23. Museum Seni Rupa H. Widayat, Jl. Letnan Tukiyat No. 32 Mungkid Magelang
24. Museum Misi Muntilan, Jl. Kartini Muntilan
25. Museum Wayang, Pondoktingal Mungkid Magelang
26. Museum Karmawibangga, Komp. Candi Borobudur
27. Museum Kapal Samodraraksa, Komp. Candi Borobudur
28. Museum Wayang, Jl. Gatot Subroto No. 1 Banyumas
29. Museum BRI, Jl. Jend. Sudirman No. 55 Banyumas
30. Museum Prof. Dr. R. Soegarda Poerbakawatja, Jl. Alun-alun Utara No.1 Purbalingga
31. Museum Kretek, Ds. Getas Pejaten Kudus
32. Museum Patiayam, Ds. Patiayam Kudus
33. Museum R.A. Kartini, Jl. Alun-alun No. 1 Jepara
34. Museum KP Kartini, Jl. Gatot Subroto No. 8 Rembang
35. Museum Grobogan, Jl. Pemuda No. 35 Purwodadi
36. Museum Masjid Agung Demak, Jl. Sultan Patah No. 57 Demak
37. Museum Batik, Jl. Jetayu No. 3 Pekalongan
38. Museum Sekolah, Jl. A. Yani Slawi
39. Museum Soesilo Soedarman, Ds. Gentasari Kec. Kroya Cilacap
40. Museum Purbakala, Komp. Percandian Dieng
41. Museum Mahameru, Jl. R.A. Kartini No. 42 Blora

DKI. JAKARTA:
MUSEUM PERS ANTARA, Jl. Antara Pasar Baru, Jakarta Pusat. Telp: (021) 3458771
MUSEUM NASIONAL, Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Jakarta Pusat. Phone: 360976, 360551
MUSEUM FATAHILLAH, Jl. Taman Fatahillah, Jakarta Kota. Phone: 679101
MUSEUM KEBANGKITAN NASIONAL, Jl. Abdurrachman Saleh No.26, Jakarta Pusat. Phone: 336143
MUSEUM SATRIA MANDALA, Jl. Jend. Gatot Subroto No.26, Jakarta Pusat. Phone: 582759
MUSEUM SASMITA LOKA A. YANI, Jl. Lembang, Jakarta Pusat. Phone: 547431
MUSEUM TUGU NASIONAL, Jl. Medan Utara, Jakarta Pusat. Phone: 340541
MUSEUM WAYANG, Jl. Pintu Besar Utara No. 27, Jakarta Kota. Phone: 679560
MUSEUM SUMPAH PEMUDA, Jl. Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat. Phone: 3103317
MUSEUM KRIMINAL ( MABAK ), Jl. Trunojoyo No. 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Phone: 70112652
MUSEUM GEDUNG JUANG 45, Jl. Menteng Raya No. 31, Jakarta Pusat. Phone: 356141
MUSEUM ANATOMY FK.UI, Jl. Salemba No.6, Jakarta Pusat. Phone: 330363
MUSEUM SENI, Jl. Fatahillah No.6, Jakarta Kota. Phone : 271062, 671062
MUSEUM LAUT ANCOL, Jl. Lodan Timur Ancol, Jakarta Utara. Phone: 680519, 68105
MUSEUM KOMODO, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Phone: 8400525
MUSEUM ARTHA SUAKA, Jl. Kebon Sirih 82, Jakarta Pusat. Phone: 374108
MUSEUM ADAM MALIK, Jl. Diponegoro No.29, Jakarta Pusat. Phone: 337408
MUSEUM MANGGALA WANABHAKTI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Phone: 5703246
MUSEUM TAMAN PRASASTI, Jl. Tanah Abang I Jakarta Pusat. Phone: 377907
MUSEUM ASMAT, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
MUSEUM SCIENCE & TECHNOLOGY, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
MUSEUM REKSA ARTHA, Jl. Lebak Bulus I, Cilandak, Jakarta Selatan. Phon: 7395000
MUSEUM INDONESIA, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
MUSEUM MILITER, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
MUSEUM MOBIL, Sirkuit Sentul, Jawa Barat
PLANETARIUM, Jl. Cikini Raya No.71, Jakarta Pusat. Phone: 346610, 337530

ACEH:
Museum Negeri of Aceh, Jl. Sultan Alaiddin Machmudsah 12, Banda Aceh. Phone: 23241
Museum Malikusaleh, Jl. Mayjend. T. Hamsyah,Bendahara Lhokseumawe Aceh Utara
Museum Sepakat Segenap, Jl. Raya Babussalam, Kutacane Aceh Tenggara
MUSEUM Gayo, Jl. Buntul-buntul, Takengon, Aceh Tengah

Sumatra Utara:
Museum Negr Sumatra Utara, Jl. M.H. Yoni No.51, Medan. Phone: 25799
Museum Bukit Barisan, Jl. Zaenal Arifin No.8 Medan. Phone: 21954
Museum Simalungun, Jl. Jend . Sudirman No. 8 Pematang Siantar
Museum Huta Bolon Simanindo, Jl. Kecamatan Simanindo Pematang Siantar
Museum Rumah Bolon Pematang Purba, Jl. Kampung Pematang Purba
Museum Seni, Jl. Jati, Medan.
Museum Zoological, Jl. Kapten MH. Situros, Pematang Siantar. Phone: 21611
Museum Joang 45, Jl. Pemuda No.17, Medan. Phone: 324110
Museum Balige, Jl. Sanggrahan No.1, Balige.

Sumara Barat
Museum Negero Sumatra Barat, Jl. Diponegoro ( Lapangan Tugu), Padang. Phone: 22316
Museum Tridaya Eka Dharma, Jl. Panorama No.22 Bukit Tinggi.
Museum Seni, Jl. Diponegoro, Padang. Phone: 22752
Museum Bundo Kandung, Jl. Cindur Mato. Bukit Tinggi Phone: 21029
Museum Zoological, Jl. Cindur Mato, Bukit Tinggi.

Riau
Museum Assejarah el Hasyimiah Palace, Jl. Sukaramai Siak Indrapura, Bengkalis.
Museum Kendil Riau, Jl. Kijangh Batu II/76 Tanjung Pinang

SUMATRA SELATAN
Museum Negeri Sumatra Selatan, Jl. Sriwijaya No. 1 Km 5,5 Palembang. Phone : 411382
Museum Sultan Badarrudin, Jl. Pasar Hilir No.3 Palembang
Museum U.P.T Balitung, Jl. Melati, Tanjung Pandan, Belitung

JAMBI
Museum Negri Jambi, Jl. Urip Sumoharjo No. 1,Telanai Pura. Phone : 268415

BENGKULU
Museum Negri Bengkulu, EGERI BENGKULU, Jl. Pembangunan Padang Harapan, Bengkulu. Phone : 32099

LAMPUNG
Museum Negri Lampung, Jl. Teuku Umar, Meneng Building, Lampung. Phone : 55164

Daftar Museum yang ada Di Propinsi JAWA BARAT:
MUSEUM NEGERI JAWA BARAT, Jl. Otto Iskandar Dinata No. 638, Bandung, Phone: (022) 50976
MUSEUM GEOLIGI, Jl. Diponegoro No. 57, Bandung. Phone:(022) 73205-08
MUSEUM MANDALA WANGSIT SILIWANGI, Jl. Mayor Lembong No. 38. Bandung
MUSEUM ASIA AFRIKA, Jl. Asia Afrika N0. 65, Bandung. Phone: (022) 59505
MUSEUM POS & GIRO, Jl. Cilaki No. 3, Bandung. Phone : (022) 56337-9
MUSEUM PERJUANGAN, Jl. Merdeka No. 28, Bogor.
MUSEUM SEJARAH MESJID BANTEN, Jl. Mesjid Banten Lama, Bogor.
MUSEUM PUSAKA KANOMAN, Jl. Dalam Kraton Cirebon, Cirebon. Phone: 2665
MUSEUM KRATON KASEPUHAN, Jl. Dalam Kraton Kasepuhan. Cirebon. Phone: 4001
MUSEUM PRABU GEUSEAN ULUM, Komplek Gedung Negara. Sumedang. Phone: 81714
PRA SITE MUSEUM, Jl. Mesjid Banten Lama
ZOOLOGICAL BOGORIENSIS MUSEUM, Jl. Ir. H. Juanda N0.3, Bogor. Phone: (0251) 24007
HERBARIUM BOGORIENSIS MUSEUM, Jl. Ir. H. Juanda No. 22-24, Bogor. Phone: (0251) 22035
BOGOR BOTANIC GARDEN / KEBUN RAYA BOGOR, Jl. Kebun Raya. Bogor

JAWA TIMUR
Museum MPU TANTULAR, Jl. Taman Mayang Kara 6, Surabaya, Phone : (031) 67037
Museum LOKA JALA CARANA, Jl. Komplek AKABRI Laut, Morokembangan, Surabaya, Phone: (031) 291092
Museum BRAWIJAYA MALANG, Jl. Ijen No. 25 A, Malang
Museum JOANG 45, Jl. Mayjend. Sungkono, Surabaya, Phone: (031) 67206
Museum SUMENEP, Jl. Kantor Kabupaten II, Sumenep
ARCHEOLOGICAL Museum KEDIRI, Jl. Jend. A. Yani, Kediri
STATUE Museum ( BALAI ARCA ), Jl. Arca, Nganjuk
ARCHEOLOGICAL Museum BLITAR, Jl. Sodancho Supriyadi No.40, Blitar, Phone: 81365
ARCHEOLOGICAL MOJOKERTO Museum, Jl. Jend. A. Yani No 14, Mojokerto
TROWULAN ARCHEOLOGICAL Museum, Jl. Raya Trowulan 13, Mojokerto., Phone: 61362

BALI
Museum NEGERI BALI, Jl. Letkol. Wisnu No. 8, Denpasar, Phone: 22680-25054
Museum RATNA WARTHA, Jl. Ubud, Gianyar
Museum LE MAYEUR, Jl. Sanur, Sanur, Bali
Museum GEDUNG ACA, Jl. Bedulu, Blahbatu, Gianyar
Museum SENI, Jl. Abian Kapas, Denpasar
Museum YADNYA, Jl. Tangawi, Tangawi
Museum KIRTYA, Jl. Veteran No. 20, Singaraja

NUSA TENGGARA BARAT
Museum NUSA TENGGARA BARAT, Jl. Kekalik, Mataram, Lombok.
Museum NEGERI NUSA TENGGARA BARAT, Jl. Panji Tilar Negara, Mataram Phone: 22159.
Museum ASIMBUGO, NUSA TENGGARA TIMUR, Museum NEGERI NUSA TENGGARA TIMUR, Jl. Perintis Kemerdekaan, Kelapa Lima, Kupang
Museum UDANA, Jl. Jen. Suharto, Kupang

KALIMANTAN BARAT
Museum NEGERI KALIMANTAN BARAT, Jl. Jend. A. Yani, Pontianak, Phone: 4600
Museum MINI KOREM, Jl. Sintang, Sintang
Museum DARA YUANTI, Jl. Dara Yuanti, Sintang

KALIMANTAN TIMUR
Museum MULAWARMAN, Jl. Diponegoro, Tenggarong, Phone: (054) 112

KALIMANTAN SELATAN
Museum LAMBUNG MANGKURAT, Jl. Jend. A. Yani Km 36, Banjar Baru, Banjar, Phone: 2453

KALIMANTAN TENGAH
Museum KALIMANTAN TENGAH, Jl. Cilik Riwut Km 2,5, Palangkaraya.
Museum BELANGA, Jl. Tangkiling Km2, Palangkaraya.

SULAWESI SELATAN
Museum LA GALIGO, Jl. Banteng Ujung Pandang, Ujung Pandang, Phone : 21305
Museum GOA BALA LOMPOA, Jl. Sultan Hassanudin 48, Sungguminassa
Museum LA PAWOWOI, Jl. Petta Ponggawe, Watampone
Museum BATARA GURU, Jl. Bau Masseppe 86, Pare-pare
Museum NERAKA, Jl. Jend. Sudirman No 2, Selayar

SULAWESI TENGAH
Museum SULAWESI TENGAH, Jl. Sapiri No 23, Palu, Phone : 22290
Museum BANGGA & LORE, Jl. Kabupaten Poso, Poso
Museum PUGUNG ULAGO SEMBAH, Jl. Tepi Laut Kaili Barat, Kab Donggala

SULAWESI UTARA
Museum NEGERI SULAWESI UTARA, Jl. W.R. Supratman No.72, Manado. Phone : (0431) 2685, 95123
Museum WANUA PKSINANTA, Jl. K.H.Dewantara 72, Manado, Phone : (0431) 2685

SULAWESI TENGGARA
Museum NEGERI SULAWESI TENGGARA, Jl. Saranani, Wua-wua

MALUKU
Museum SIWA LIMA, Jl. Taman Makmur, Ambon, Phone : 42841
Museum ISTANA SULTAN TERNATE, Jl. Kabupaten, Maluku Utara
Museum MEMORIAL SULTAN TIDORE, Jl. Salero, Tidore
Museum SONYINE MALIGE, Jl. Soa Sio Tidore, Halmahera Tengah

IRIAN JAYA
Museum NEGERI IRIAN JAYA, Jl. Raya Sentani Km 17,8, Jayapura
Museum LOKA BUDAYA, Jl. Uncen, Sentani Abepura, Jayapura
Museum KEBUDAYAAN & KEMAJUAN ASMAT, Jl. Keuskupan Agats, Irian Jaya
Museum WAEMENA, Jl. Waemena, Irian Jaya

Penemuan Situs Arkeologi pada Hutan Randublatung



Menurut Grahame Clarke secara sederhana pengertian arkeologi adalah suatu studi sistematik tentang tinggalan arkeologi (antiquities) sebagai alat untuk merekonstruksi masa lampau. Melihat pengertian diatas, maka benda arkeologi merupakan bagian dari benda-benda cagar budaya.

Dalam UU N0. 5 Tahun 1992, pengertian Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya yang sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta di anggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan; benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

Kawasan hutan KPH Randublatung berbatasan dengan wilayah hutan Propinsi Jawa Timur serta berdekatan dengan aliran Sungai Bengawan Solo. Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Pada zaman dahulu Sungai Bengawan Solo merupakan jalur transportrasi air yang ramai, karena menguhubungkan Kota Raja Surakarta dengan Laut Jawa. Bengawan Solo juga merupakan sungai yang telah tua usianya sehingga pada daerah sepanjang alirannya banyak diketemukan peninggalan-peninggalan purbakala atau benda cagar budaya. Hal tersebut tidak lepas dari kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu dimana mereka biasa hidup disepanjang aliran sungai.

Daerah sekitar aliran Sungai Bengawan Solo merupakan daerah yang banyak menyimpan situs-situs budaya dan purbakala, seperti di daerah Sangiran Sragen yang sudah sangat terkenal di dunia sebagai daerah situs purbakala. Selain itu, ternyata pada kawasan hutan KPH Randublatung yang berdekatan dengan aliran Sungai Bengawan Solo juga terdapat daerah yang banyak diketemukan fosil-fosil purbakala dan situs-situs budaya.

Petak 123 RPH Mendenrejo BKPH Beran KPH Randublatung merupakan lokasi yang banyak di ketemukan fosil binatang purbakala. Fosil-fosil tersebut diketemukan dalam endapan tanah sedalam tiga meter dari permukaan tanah. Menurut ahli gajah purba Universitas Wollongong Australia Gert Van den berg yang mengunjungi lokasi tersebut pada akhir tahun 2009, jenis fosil yang diketemukan dilokasi adalah Banteng purba: Duboisia santeng, Kerbau Purba Bubalus paleokarabau, tempurung kura2 jenis batagurit. Lokasi penemuan merupakan alur sungai bengawan solo purba dan merupakan daerah endapan lumpur. Kemungkinan binatang-binatang tersebut dahulu mati dalam kubangan lumpur, kemudian menjadi fosil selama ribuan tahun. Beberapa fosil yang diketemukan di lokasi tersebut sebagian telah dipindahkan di Museum Mahameru Blora untuk alasan keamanan, namun beberapa penemuan baru masih disimpan di Pos Polhut Petak 123.

Sedangkan pada petak 122 diketemukan makam pada masa Mataram Kuno. Makan tersebut awalnya berada didalam tanah, namun saat ini telah disusun kembali dalam permukaan tanah. Makam tersebut terbuat dari susunan batu bata merah yang berukuran cukup besar-besar dibandingkan batu bata yang umum dibuat saat ini. Lokasi makan terletak kurang lebih 100 meter dari Situs Budaya Ngreco petak 123 c RPH Mendenrejo BKPH Beran. Lokasi makan kuno tersebut telah diteliti oleh peneliti dari Puslitbang Geologi Bandung, bahkan mereka sudah membuat sumur di dekat lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian. Secara terpisah ketika hal tersebut ditanyakan pada Wardiyah S.Hum. (peneliti di BP3 Yogyakarta), BP3 Yogyakarta belum mengetahui mengenai penemuan situs budaya di kawasan hutan KPH Randublatung. Padahal seharusnya berita tersebut harusnya sampai pada BP3 Yongyakarta karena masih masuk dalam wilayah kerjanya.

Sementara itu menurut Mugni, S.Hut Kasi PSDA KPH Randublatung, melihat banyaknya benda-benda yang memiliki nilai sejarah tinggi disekitar lokasi tersebut, rencananya lokasi tempat penemuan benda-benda arkeolongi tersebut akan diusulkan menjadi kawasan Situs Arkeologi KPH Randublatung. Penetapan lokasi menjadi situs Arkeologi diharapkan lokasi tersebut mampu dikembangkan sebagai lokasi penelitian, wisata sejarah dan pelestarian budaya bangsa. Dalam konsep HCVF, situs arkeologi merupakan salah satu kawasan yang memiliki nilai konservasi tinggi (NKT) 6 yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh setiap pengelola kawasan hutan yang baik.

Sedangkan menurut Zaenal Abidin, S.Hut. Asper BKPH Beran Pos Polhut Petak 123 rencananya akan dibuat sebagai museum mini yang berfungsi sebagai tempat memajang fosil-fosil yang diketemukan di sekitar lokasi. Selain sebagai tempat pusat informasi dan pengamanan situs, pos tersebut juga akan dijadikan sebagai tempat pengumpulan fosil yang diketemukan oleh masyarakat sekitar hutan. Rencana tersebut merupakan sebuah inisiatif yang bagus dari pihak management KPH Randublatung untuk turut serta memelihara dan mengamankan benda yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Warga Banderol Harga Fosil

BLORA, - Warga penemu fosil yang tinggal di sekitar Bengawan Solo Purba, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, belakangan ini kerap membanderol harga fosil. Kalau pemerintah daerah tidak mampu memenuhi harga itu, mereka tidak segan menawarkan atau menjual fosil itu kepada pemburu fosil dan benda bersejarah.

Kepala Museum Mahameru Blora Gatot Pranoto, Kamis (17/12) di Blora, mengatakan, temuan fosil terakhir dibanderol Rp 2 juta-Rp 3 juta. Fosil tersebut berupa tengkorak banteng purba (Duboisia santeng), tengkorak kerbau purba (Bubalus paleokarabau), dan tempurung kura-kura purba jenis batagurit.

Lantaran khawatir fosil-fosil tersebut jatuh ke tangan orang lain, Museum Mahameru melalui Yayasan Mahameru ”membeli” fosil itu seharga Rp 1,5 juta. Yayasan Mahameru mengistilahkan pembelian tersebut sebagai upah menggali fosil supaya tujuh warga penemu tidak menganggapnya sebagai transaksi jual-beli.

Saat ini, fosil-fosil itu berada di bengkel Yayasan Mahameru. Setelah dibersihkan dan dirawat, fosil-fosil itu akan disimpan di Museum Mahameru.

Milik negara
Palaeontolog Museum Geologi Badung, Fachroel Azis, mengatakan, masyarakat di sekitar Bengawan Solo purba sudah mengetahui nilai fosil. Ketika Tim Vertebrata Museum Geologi Bandung mendatangi lokasi temuan, mereka juga meminta tim membeli fosil temuan mereka seharga Rp 2 juta.

Fosil itu milik negara karena sudah dilindungi dan diatur dalam undang-undang. Seharusnya warga dengan sukarela menyerahkan fosil tersebut kepada pemerintah daerah, bukan malah pasang harga dan menjualnya.

”Tugas pemerintah setempat menyosialisasikan larangan dan aturan menjual fosil atau benda- benda cagar budaya. Kalaupun warga penemu meminta ganti, pemerintah cukup memberikan uang jasa penggalian dan sertifikat penghargaan,” kata Fachroel.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Blora Suntoyo mengatakan, penjualan fosil terjadi lantaran faktor ekonomi. Warga lebih mementingkan urusan perut ketimbang fosil atau benda-benda bersejarah.

Wayang krucil

Wayang krucil pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan Wayang Krucil. Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik.

Di daerah Jawa Tengah wayang krucil memiliki bentuk yang mirip dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang kulit purwa , raja-rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

Cerita yang dipakai dalam wayang krucil umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan wayang krucil memakai cerita wayang purwa dan wayang menak, bahkan dari babad tanah jawa sekalipun.

Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Namun, ada kalanya wayang krucil menggunakan gendhing-gendhing besar.

SITUS SEJARAH DI KABUPATEN BLORA

Blora merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Blora sebagai sebuah kota telah meninggalkan banyak situs yang berserakan. Hal ini berkaitan dengan adanya peninggalan dari kerajaan jipang panolan dan situs wura-wari. Situs-situs sejarah ini misalnya:

* Perpustakaan Daerah

Perpustakaan daerah biasanya merupakan sebuah perpustakaan yang lokasinya di tingkat kabupaten. Sebagai contoh misalnya: perpustakaan yang ada dikabupaten Blora yang beralamat di jalan A.Yani kompleks GOR Kolonel Soenandar. Di perpustakaan ini tersimpan berbagai macam koleksi sumber sejarah tertulis yang meliputi berbagai bidang serta buku-buku mengenai sejarah blora, kebudayaan blora, suku Samin dan sumber-sumber lain yang kompeten dalam penulisan sejarah.

* Museum Mahameru

Berawal dari rasa iri, meri terhadap kabupaten tetangga seperti Rembang, Pati, Grobogan, dan Bojonegoro (Jawa Timur), Mahameru ini dibangun,” ungkap Ketua Yayasan Mahameru Blora Gatot Pranoto BE. Pada awalnya, dengan merekrut beberapa personel muda yang memiliki keinginan untuk pelestarian budaya dan sejarah, obsesi Mahameru masih ambyah-ambyah atau kurang terfokus. Begitu berdiri, tidak tanggung-tanggung langsung berbadan hukum. Kali pertama yang dilakukan sejumlah personel Mahameru adalah menelusuri literatur dan studi lapangan dengan obsesi menyusun buku sejarah Blora. Latar belakangnya, selama ini masih terlalu banyak versi penyusunan sehingga buku sejarah Blora ini belum diketahui ending-nya.

Didorong oleh keinginan terus maju, tidak puas dengan apa yang diraih saat ini, Yayasan Mahameru secara rutin menerjunkan tim penelusur dan pemantau benda-benda bersejarah ke seluruh pelosok di Blora. Fosil binatang raksasa, pecahan keramik dari negeri manca, bebatuan, tosanaji telah ditemukan tim ekspedisi itu. penemuan fosil kerbau purba yang diperkirakan sudah berusia 1 juta – 2 juta tahun lalu di Kecamatan Menden, Blora, kini tim Yayasan Mahameru Blora kembali menemukan fosil binatang purba jenis pemakan daging yang diperkirakan juga berusia jutaan tahun. Temuan fosil baru itu secara lisan telah dilaporkan ke Dinas Pariwisata Blora dan barangnya saat ini untuk sementara disimpan di Rumah Sejarah Blora..

Temuan di Desa Rowobungkul adalah pecahan keramik yang diperkirakan peninggalan zaman Dinasti Ming, sebagian peninggalan Dinasti Tsung dan Dinasti Tsing. Yang menarik, hamparan pecahan keramik itu berada di area yang sangat luas, 20 hektare

Benda bersejarah yang menjadi koleksi Museum Mahameru bertambah 1 buah, yaitu berupa 1 kotak wayang kulit (50 – 70 buah). Benda tersebut dihibahkan warga Desa Jatisari, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Dihibahkannya wayang kulit tersebut dilatar belakangi cerita mistis, namun menjadi fakta ditengah kehidupan warga Jatisari. Menurut Ketua Yayasan Mahameru Blora, Gatot Pranoto, warga desa menyebut benda yang dihibahkan tersebut sebagai wayang kulit Malati. Pemberian nama itu dilatarbelakangi oleh kejadian aneh yang menimpa setiap warga yang menyimpan wayang kulit tersebut, ketika disimpan di rumah salah seorang perangkat desa, tanpa diketahui penyebabnya tiba – tiba salah seorang anggota keluarga perangkat itu jatuh sakit. Dan anehnya, saat wayang kulit itu dipindahkan ke tempat lain, warga yang sakit itu sembuh. Peristiwa itu terjadi berulang kali di Desa Jatisari. Setelah mengalami peristiwa yang sama, warga desa sepakat membiarkan wayang kulit itu di Balai Desa.

* Lubang Buaya Dukuh Pohrendeng

Lubang buaya ini merupakan tempat pembuangan mayat korban PKI 1948 yang terletak di dukuh Pohrendeng, Desa Maguwan kecamatan Tunjungan. Korban dari PKI ini yaitu Mr. Iskandar yang merupakan Presiden Landraad pada pengadilan Negeri Blora sejak penjajahan yang diangkat menjadi bupati blora ketika Indonesia merdeka. Ketika menculik Mr. Iskandar tertangkap terikut pula dokter Susanto yang merawat Mr. Iskandar dan seorang camat margorojo pati yang bernama Oetoro. Selain itu dua orang lagi dari blora yaitu Gunandar dan Abu Umar.

* Sunan Pojok

Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora dekat dengan Alun-Alun Kota Blora, tepatnya berada disebelah Utara Pasar Kota Blora, sangat strategis dan mudah dijangkau baik dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut data inventaris Kepurbakalaan dari Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora serta hasil dari pendapat sebagian tokoh masyarakat mengenai data-data makam para tokoh Pemerintahan dan Keagamaan pada waktu dulu, merupakan awal mula pemerintahan di Kabupaten Blora. Barangkali dari sini dapat digambarkan asal mula Kabupaten Blora. Makam Sunan Pojok adalah Makam Pangeran Surobahu Abdul Rohim. Sebelumnya beliau adalah seorang perwira di Mataram yang telah berhasil memadamkan kerusuhan di daerah pesisir utara atau tepatnya didaerah Tuban, sekembalinya dari Tuban diperjalanan beliau jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa Pojok Blora.

* Situs Wura-Wari

Lokasi Situs Wura-wari ini dari Jipang, Ngloram dapat ditempuh dengan berkendaraan sekitar sepuluh menit. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang pada tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja Darmawamsa Tguh). Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di daerah yang sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta pernikahan putri Raja Darmawamsa Teguh dengan Airlangga, yang juga keponakan raja, sedang dilangsungkan.

Membalas dendam atas kematian istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya balik menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun, sebelumnya Haji Wura-Wari terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan keluar dari keratonnya di Wattan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Pasuruan, Jawa Timur).

Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan menggantikan Darmawamsa Tguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu bata kuno berserakan di sekitar situs tersebut.

Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman.. Sejak tahun 2000, telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru.

Temuan di situs itu memperkuat isi Prasasti Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042 Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno (epigraf) Boechori dari Universitas Indonesia. Boechori menyebutkan, …Haji Wura-Wari mijil sangke Lwaram. Mijil mempunyai arti keluar (muncul dari).

Hasil analisis toponimi (nama tempat), kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan ’w’, penyengauan di awal kata, dan perubahan vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama Lwaram menjadi Ngloram sekarang. Penjelasan seperti itu pula yang membantah berbagai pendapat terdahulu yang menyebutkan Haji Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu memiliki data arkeologis, toponimi, dan geografis kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan Solo di Desa Ngloram.

* Petilasan Kadipaten Jipang Panolan

Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar 8 kilometer dari kota Cepu. Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, dan Petilasan Masjid.

Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain makam R Bagus Sumantri, R Bagus Sosrokusumo, RA Sekar Winangkrong, dan Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng, terdapat Makam Santri Songo. Disebut demikian karena di situ ada sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.

* Cepu, Nglobo, Ledok, dan Wonocolo

Jumlah sumur tua yang ada mencapai 648 buah dengan 112 di antaranya masih aktif memproduksi minyak. Perlu diketahui, sumur minyak di Cepu ini kali pertama ditemukan pada tahun 1890 oleh Bataafsche Petroleum Maatchappij (BPM), sebuah perusahaan minyak dari Belanda, yang kemudian namanya berubah menjadi Shell. Sebagian besar sumur tua tersebut masih ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat. Mereka menggunakan tali dan timba yang ditarik oleh sekitar 15 orang atau memanfaatkan sapi untuk menderek. Sumur-sumur tua itu umumnya berada di areal perbukitan dan di tengah-tengah kawasan hutan jati. Maka, perlu upaya ekstra untuk bisa melihatnya

* Makam Purwo Suci Ngraho Kedungtuban

Makam Purwo Suci terletak di Dukuh Kedinding, Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban lebih kurang 43 km kearah tenggara dari Kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat sampai ke jalan desa kemudian untuk mencapai makam dolanjutkan dengan berjalan kaki lebih kurang 500 m sambil menikmati pemandangan alam, karena letaknya berada di puncak perbukitan dengan luas areal bangunan makam lebih kurang 49 persegi. Menurut informasi atau cerita dari masyarakat setempat Makam Purwo Suci adalah makam seorang Adipati Penolan sesudah Haryo Penangsang bernama Pangeran Adipati Notowijoyo. Di dalam halaman makam tersebut juga terdapat Makam Nyai Tumenggung Noto Wijoyo, karena jasa-jasanya, sampai saat ini makam tersebut masih banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, bahkan pernah dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864 dengan memakai sandi sengkolo, Karenya Guna Saliro Aji ( tahun 1864 ). Menurut ceritera yang panjang, makam ini cocok dikunjungi oleh wisatawan yang senang akan olah roso dan olah kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

* Makam Maling Gentiri

Makam Maling Gentiri terletak di Desa Kawengan, Kecamatan Jepon, lebih kurang 12 km kearah Timur dari Kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirdjo ( Tahun 1984 ), serta buku Tradisional Blora karya Prof. DR.Suripan Sadi Hutomo ( tahun 1966 ) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri adalah putra dari Kyai Ageng Pancuran yang saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi ( sakti mondroguna ), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya, suka mencuri ( maling ) namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Ds. Kawengan, Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak, masyarakat setempat atau dari daerah lain yang datang ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah), baik untuk berziarah maupun untuk tujuan tertentu.

* Makam Jati Kusumo dan Jati Swara

Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken lebih kurang 31 km kearah Tenggara dari Kota Blora atau lebih kurang 10 km dari Kecamatan Jiken, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dengan luas areal lebih kurang 1 Ha yang didalamnya terdapat Makam Jati Kusumo dan Jati Swara, makam Rondo Kuning ( putri yang tergila-gila ingin diperistri oleh kedua bangsawan tersebut ), empat makam sahabat , Bangsal sesaji, Guci berisi air ( dianggap punya karomah ), Batu Pasujudan, dan juga bangsal untuk pertunjukan Wayang Krucil. Menurut ceritera rakyat setempat Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara adalah dua bersaudara kakak beradik putra dari Sultan Pajang, Mempunyai kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain, suka mengembara kemana-mana dengan tujuan untuk menyebarkan Agama Islam. Terbukti dengan adanya bangunan masjid disana karena jasa-jasanya.

Jejak Islam di Blora di Museum Mahameru

Menyimpan Alquran dan Kitab-Kitab Kuno

Museum Mahameru menyimpan banyak benda bersejarah yang sebagian besar ditemukan di wilayah Blora. di antaranya adalah Alquran dan kitab-kitab kuno. Kitab-kitab itu sedikit merekam jejak Islam di wilayah ini.


Di ruang atas museum Mahameru yang terletak di komplek wisata Taman Tirtonadi sejumlah pengunjung nampak asyik memerhatikan koleksi benda-benda kuno bernilai sejarah tinggi yang dipajang. Di antara pengunjung ada yang terlihat serius mengamati benda yang disimpan di lemari kayu dengan kaca transparan. Di dalamnya, di bagian atas tertata rapi bebarapa kitab yang sudha tidak utuh lagi. Warnanya coklat kusam, meski masih ada yang terlihat lebih terang.

Ya, kitab-kitab itu adalah kitab kuno koleksi museum yang dikelola Yayasan Mahameru dan Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Blora tersebut. Di antara kitab-kitab itu, ada Alquran kuno yang terbuat dari kulit. Tulisannya masih tulisan tangan. Juga ada kitab keagamaan lainnya, seperti ushul fiqih, tafsir dan tauhid serta kitab serta kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. ''Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,'' ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto.

Indikasinya, antara lain, didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 hizriyah (1428 masehi) oleh ulama mesir. Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno ada juga yang dari kulit. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain. Yakni berisi tafsir Al Quran surat Al Kahfi sampai juz 29. Penulisnya Syeh As-Suyuti dari Mesir.

Dari beberapa benda koleksi bernuansa Islami di museum itu, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken Kecamatan Jiken. Gatot Pranoto menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika berperang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. ''Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,'' tandasnya.

Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa Islami adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri dari tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad. Yang kedua, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid. Ketiga, tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi. Dari tulisan di dalam kitab diketahui bahwa pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir Desa Sukorame Distrik Tunjungan Blora.

Ada juga kitab yang terdiri dari tiga pokok bahasan. Yaitu Sayidina masalah tanya jawab tentang ilmu Islam, Ma'rifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih. Selain itu ada juga Al Quran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. ''Benda-benda itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,'' tandasnya.

Meski sudah tua, kitab-kitab itu masih jelas tulisannya, sehingga masih bisa dibaca. Sejumlah versi sejarah menyebutkan Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para wali songo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan  dengan budaya dan kesenian Jogjakarta. Sejarah itu pernah dibeber Kanjeng Raden Tumenggung Hardjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Jogjakarta khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu. Hardjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya, Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram. Sunan Pojok yang semasa hidupnya dikenal dengan nama pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.

Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC Belanda dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih "mbalelo" terhadap Sultan Mataram kala itu.

Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 Nopember 1626. Usai menjalankan tugasnya Sunan Pojok kembali ke Blora.

Selasa, 18 Mei 2010

Langen Driya, Jawa Kuno

Mahameru, yayasan yang bergerak di bidang sejarah, budaya, dan arkeologi, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menerjemahkan lakon wayang krucil "Langen Driya" bertuliskan Jawa Kuno. Lakon tujuh jilid yang diterbitkan Balai Pustaka - Batavia Sentram antara 1932-1938 itu berkisah tentang roman zaman Majapahit akhir, Damarwulan dan Kencanawungu.

Ketua Yayasan Mahameru Gatot Pranoto, Sabtu (29/11) di Blora, mengatakan "Langen Driya" merupakan roman jawa kuno jenis pelipur lara. Roman itu hanya beredar di kalangan keraton dan kerap didongengkan kepada anak-anak berdarah biru. Pada zaman Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara VII memerintah Surakarta, ia memperbolehkan "Langen Driya" dibaca masyarakat umum.

Sejak itu, "Langen Driya" menjadi salah satu lakon wayang krucil. Wayang krucil merupakan wayang yang terbuat dari kayu (untuk badan wayang) dan kulit (untuk tangan wayang). Wayang yang berkembang di Jawa Tengah bagian timur itu merupakan sarana syiar Islam.

Menurut Gatot, Mahameru mendapat buku itu dari pensiunan penilik kebudayaan Topowiyono. Ia membeli buku itu di Toko Buku Hoe Sien, Pasar Johar, Semarang. Buku itu diterbitkan percetakan Balai Pustaka - Batavia Sentram yang berdiri pada 1912.

"Satu jilid buku bisa menjadi lima buku tulis biasa," kata Gatot. Pakar tulisan jawa kuno asal Blora Basuki (56) mengatakan roman Damarwulan-Kencanawungu itu mengambil latar belakang Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Handayaningrat atau Brawijaya III. Roman itu terbagi menjadi tujuh lakon yang berkesinambungan.

Lakon-lakon itu adalah "Jumenenganipun Dewi Kencanawungu", "Pejahipun Ronggolawe", "Gunjaran", "Pejahipun Menakjingga", "Ratu Wandhan Dhateng Majapahit", "Damarwulan Jumeneng Nata", dan "Panji Wulung Dhateng Majapahit".

Setiap lakon itu diawali dengan kata "Lampahan". "Sementara ini terjemahan itu masih dalam bentuk tulisan tangan," kata Basuki yang mengaku menerjemahkan buku itu selama tiga tahun.

Perjuangan Mendirikan Rumah Sejarah Blora

Perjuangan Mendirikan Rumah Sejarah Blora


Penemuan sejumlah fosil purba di Desa Singget, Kecamatan Menden oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam wadah Yayasan Mahameru Blora, kiranya perlu mendapat penghargaan atas kepedulian sekelompok kaum muda terhadap benda-benda sejarah di Blora. Untuk mengetahui kiprah Yayasan Mahameru berikut latar belakang liku-liku berdirinya serta obsesi ke depan, wartawan Suara Merdeka, Urip Daryanto, menurunkan laporan dua seri mulai hari ini.

''SEMULA berawal dari rasa iri, meri terhadap kabupaten tetangga seperti Rembang, Pati, Grobogan, dan Bojonegoro (Jawa Timur), saya memberanikan diri untuk mendirikan Mahameru,'' ungkap Ketua Yayasan Mahameru Blora Gatot Pranoto BE dalam bincang-bincangnya dengan Suara Merdeka, baru-baru ini.

Ya, sekitar dua tahun lalu, sebuah yayasan yang sejak awal komit bergerak dalam bidang pelestarian seni budaya tradisonal termasuk di dalamnya soal penelusuran peninggalan benda-benda sejarah telah berdiri di Blora.

Pada awalnya, dengan merekrut beberapa personel muda yang memiliki keinginan untuk pelestarian budaya dan sejarah, obsesi Mahameru masih ambyah-ambyah atau kurang terfokus. ''Ya bagaimana fokus, keberanian untuk mendirikan yayasan hanya dilandasi semangat,'' tutur Gatot. Sebut saja Edi Wuryanto, Margono dan bebeapa personel lain, hanya bermodal tekad kemudian menekuni bidang yang tidak populer ini

Begitu berdiri, tidak tanggung-tanggung langsung berbadan hukum. Kali pertama yang dilakukan sejumlah personel Mahameru adalah menelusuri literatur dan studi lapangan dengan obsesi menyusun buku sejarah Blora. Latar belakangnya, selama ini masih terlalu banyak versi penyusunan sehingga buku sejarah Blora ini belum diketahui ending-nya.

Dana

Orang Blora atau mungkin orang di luar Blora barangkali akan bertanya-tanya, dari mana dukungan dana untuk melaksanakan kerja besar itu. Sementara orang Blora - waktu itu - sudah sangat mafhum akan status sosial orang-orang di Yayasan Mahameru yang sebagian besar sedang-sedang saja.

''Karena keberangkatan kami hanya tekad, ya untuk mendukung kegiatan kami tidak jarang harus urunan. Ada memang partisipasi dan perhatian dari Pemkab Blora, yaitu kucuran dana Rp 5.000.000 untuk setiap tahunnya,'' ungkap Margono.

Gatot Pranoto, Jaringan Pelindung Benda Kuno

Pada era 1980-an, Gatot Pranoto populer di kalangan pedagang barang antik, setidaknya di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Dia terkenal sebagai ”pemain” yang kerap melarikan temuan-temuan arkeologi dan benda-benda kuno dari ”kandangnya” di Kabupaten Blora, Jateng.
Bahkan, seakan tak mau tanggung-tanggung, Gatot mengumpulkan temuan arkeologi dan benda-benda kuno itu di Art Shop, toko barang antik miliknya di Kota Yogyakarta. Harta bendanya itu sangat beragam, mulai dari beraneka fosil, artefak, hingga furnitur kuno.
Semua ”koleksinya” itu dia jual kepada siapa pun yang berminat dengan harga mulai dari Rp 250.000 misalnya untuk lemari obat, hingga Rp 20 juta bagi peminat lemari pakaian berukir motif Kerajaan Demak.
Namun, tahun 1989 Gatot mengalami ”titik balik” dalam kehidupannya. Ia merasa menyesal menjual temuan-temuan arkeologi dan benda-benda kuno yang ditemukan di tanah kelahirannya.
Sejak itulah, ia kemudian memutuskan tidak bermain fosil dan benda kuno lagi. Gatot menutup Art Shop miliknya dan pergi mencari penghidupan baru di Kalimantan.
”Fosil dan benda-benda bersejarah mengandung nilai sosiologis dan historis. Sayang kalau dijual atau hilang dari tempat asalnya. Lewat temuan dan benda itu, seluk-beluk dan karakter suatu daerah seharusnya dapat terbaca,” katanya.
Kembali dari Kalimantan sekitar 10 tahun kemudian, Gatot merintis pengumpulan fosil dan benda-benda bersejarah yang tersebar di segenap penjuru Blora. Tentu saja bukan untuk ”dilarikan” keluar dari Blora, tetapi guna dilindungi dan dilestarikan.
Temuan-temuan itu, misalnya, berupa fosil binatang purba, patung-patung zaman kerajaan Hindu dan Buddha, buku-buku Jawa dan Islam kuno, keramik dari China, dan senjata-senjata zaman prasejarah dan sejarah.
Gatot menyimpan benda-benda itu di gudang di rumahnya, sembari mencari tempat yang dirasakannya cocok untuk mendirikan rumah sejarah atau museum.
Di sela-sela kegiatan mengumpulkan fosil dan benda-benda bersejarah tersebut, Gatot juga rajin membaca buku-buku sejarah, arkeologi, dan seni budaya. Ia kagum dengan pemikiran sejarawan seperti Prof Slamet Mulyono dan arkeolog R Soeksmono.
Menurut Gatot, mereka menelurkan beragam teori sejarah dan arkeologi yang menjadi patokan-patokan perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya. Selain itu, mereka juga terlibat langsung dalam upaya menguri-uri benda cagar budaya dengan cara masing-masing.
”Slamet dan Soeksmono selalu membangun jaringan di sekitar tempat penelitian atau yang berpotensi mengandung benda-benda purba dan sejarah,” ujar Gatot.
Jaringan pelindung
Gatot berupaya menerapkan cara yang telah dilakukan kedua ”idolanya” itu di wilayah Blora. Pada tahun 2001, ia merekrut sejumlah orang di 16 kecamatan di Blora yang peduli dengan benda-benda cagar budaya. Mereka terdiri dari petani, guru, tokoh masyarakat, pemuda kampung, dan para seniman.
”Mereka bekerja tanpa upah di sela-sela kesibukan sehari-hari. Jika mengeksplorasi sebuah daerah, mereka hanya membawa bekal nasi kucing dan sebotol minuman,” cerita Gatot.
Satu tahun kemudian, tepatnya 16 Mei 2002, Gatot mendeklarasikan berdirinya Yayasan Mahameru. Yayasan itu merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengembangan dan pemberdayaan seni, budaya, tradisi, dan benda-benda cagar budaya di Blora.
Dengan berdirinya yayasan itu, semakin banyak benda cagar budaya yang ditemukan. Benda-benda yang sekiranya kurang aman, dibawa untuk disimpan di rumah Gatot. Adapun benda-benda yang permanen dan masih menjadi bagian budaya masyarakat setempat, tetap di tempatnya semula dengan pengawasan berbasis partisipasi masyarakat.
Lantaran ruang di rumahnya tak cukup lagi menampung temuan dan benda cagar budaya itu, pada 2002 Gatot mendapat pinjaman rumah kosong di Jalan Blora-Rembang Kilometer 5. Lokasi ini lalu menjadi semacam museum kecil. Rumah yang diresmikan Bupati Blora (almarhum) Basuki Widodo itu diberi nama Rumah Sejarah.
Tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Blora memfasilitasi Yayasan Mahameru untuk membangun museum di kompleks Taman Bermain Tirtonadi. Museum itu bernama Museum Mahameru.
Kini, museum itu mengoleksi sekitar 500 fosil dan benda kuno. Koleksi Museum Mahameru yang menjadi unggulan adalah kapak tangan dari batu (chopper), pipa air dari terakota, dan arca Siwa yang belum selesai.
Jaringan Gatot yang tergabung dalam Yayasan Mahameru juga menerjemahkan lakon wayang krucil ”Langen Driya” bertuliskan Jawa kuno. Lakon tujuh jilid yang diterbitkan Balai Pustaka-Batavia Sentram 1932-1938 itu berkisah tentang roman zaman Majapahit akhir, Damarwulan dan Kencanawungu.
Terjemahan itu menjadi salah satu materi penyiaran ”Khasanah Budaya” di Radio Suara Pemerintah Daerah (RSPD) Gagak Rimang Blora. Acara yang diperdengarkan setiap Kamis malam itu menjadi sarana Yayasan Mahameru menyerukan materi seni, budaya, dan sejarah Blora.
Perdagangan marak
Meski jejaring pelindung dan pelestarian benda-benda cagar budaya telah dia lakukan, Gatot merasa upaya itu belum maksimal. Pasalnya, banyak benda cagar budaya yang dijual keluar Blora. Misalnya di Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, fosil tengkorak buaya purba dijual dengan harga Rp 300.000, sedang fosil gading gajah ditukar dengan empat kambing.
Belakangan ini, fosil gading gajah purba yang ditemukan akhir 2008 itu pun ditawar pemburu fosil dan benda kuno seharga Rp 5 juta. Para pemburu itu kebanyakan berasal dari luar Blora.
Menurut Gatot, salah satu faktor penyebab mudahnya benda cagar budaya beralih tangan adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti penting benda tersebut. Mereka cenderung memerhatikan kebutuhan perut sehingga dengan mudah mengalihtangankan benda temuan kepada pemburu fosil dan benda kuno.
”Para pemburu memanfaatkan peluang itu dengan iming-iming uang sampai jutaan rupiah,” katanya.
Untuk mencegah perdagangan benda cagar budaya, kata Gatot, diperlukan pendidikan budaya dan sejarah berbasis masyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama pemerintah dan kelompok peduli benda cagar budaya.
”Pemerintah perlu membentuk jaringan pelindung cagar budaya berbasis masyarakat di situs-situs sejarah, supaya benda bersejarah bangsa ini tak hilang,” tambahnya.

BIODATA
Nama: Gatot Pranoto
Lahir: Blora, 9 Oktober 1959
Anak:
- Laksmi Ekowati (29)
- Danang Widi Santoso (24)
Pendidikan:
- SD Latihan (SDL) 14 Blora
- SMPN 1 Blora
- SMAN 1 Blora
- Sarjana Muda Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pekerjaan:
- Ketua Yayasan Mahameru dan Kepala Museum Mahameru Blora
Penghargaan:
- Dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah 2007 untuk Permuseuman dan Kepurbakalaan

Selasa, 30 Maret 2010

Fosil Gajah Blora


Sejumah pengunjung melihat fosil gajah Blora (Elephas Sp) di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/9). Fosil Gajah purba asal Blora yang berumur 200 ribu tahun dan dengan tinggi mencapai 5 Meter dan Berat 10 Ton tersebut telah dipamerkan kepada publik sebagai koleksi terbaru Museum Geologi Bandung. Fosil Gajah tersebut merupakan fosil Gajah terbesar yang ditemukan di Indonesia.

Blora Kota Sejuta Benda Cagar Budaya

Keberadaan Indonesia yang kaya akan benda cagar budaya memang sudah tidak diragukan lagi. Hampir disetiap daerah terdapat benda-benda cagar budaya yang tidak ternilai harganya sebagai warisan dan sekaligus pertanda betapa hebatnya nenek moyang kita dulu. Bagi anda yang suka melakukan perjalanan wisata ketempat yang memiliki benda-benda cagar budaya, mengunjungi daerah Blora, Jawa Tengah mungkin menjadi salah satu alternatif.

Kabupaten Blora yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Tengah banyak menyimpan benda cagar budaya, baik yang ditemukan oleh masyarakat maupun hasil dari penyisiran geologi. Mulai dari fosil kepala kerbau, kuburan batu, arca Ganesha, genteng buatan tahun 1910, sampai peninggalan masa kolonial berupa senapan VOC, lubang ventilasi, hingga klise foto yang berbahan kaca ada di tempat ini.

Berdasarkan temuan benda cagar budaya tersebut, dapat dibagi dalam lima masa yakni masa prasejarah, masa pengaruh Hindu Budha, masa pengaruh Islam, masa kolonial, dan masa pascakemerdekaan. Peninggalan masa prasejarah ditemukan fosil kepala kerbau di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan lain di Desa Jiken, Kecamatan Jiken berupa batu bulat berdiameter 20 sentimeter berbahan batu lokal. Diperkirakan batu tersebut, dipakai untuk berburu binatang. Bola diikatkan pada tali, kemudian dilempar ke kaki binatang.

Di Kecamatan yang sama, di Desa Bleboh, ditemukan kubur peti batu di hutan jati daerah setempat. Kubur peti batu tersebut, merupakan salah satu bangunan Megalithikum yang muncul pada masa perundagian pada sekitar 500 SM. Didirikannya bangunan pada masa Megalithikum, menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan pusat pemujaan yang memiliki kekuatan supranatural.

Blora juga menyimpan situs masa Hindu Budha berupa arca Ganesha, Siwa Mahadewa, Agastya, Nandiswara, dan dua arca lain yang sulit diidentifikasi karena sudah aus yang ditemukan di Kecamatan Blora. Tumpukan batu bata kuno dan dua antefik atau hiasan pada atap candi yang berasal dari tanah liat bakar ditemukan di Kuwung, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan antefik tersebut, menunjukkan bahwa dahulu ada bangunan candi di daerah itu dengan lokasi daerahnya yang relatif tinggi. Di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngawen juga ditemukan lumpang batu yang berfungsi untuk menumbuk biji-bijian sekaligus sebagai benda religi.

Museum Mahameru

Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Kekayaan dan Keragaman Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Gembong Setyopujiono menjelaskan, untuk menyelamatkan benda cagar budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora bekerja sama dengan Yayasan Mahameru. Gembong menjelaskan, seluruh temuan masyarakat maupun hasil penyisiran saat ini berada di Museum Mahameru yang beralamat di Jalan Reksodiputro atau komplek Tirtonadi Blora. “Oleh karena itu, nama Mahameru kita jadikan nama Museum Kabupaten Blora,” katanya.

Memasuki Museum Mahameru, pengunjung seolah dibawa ke masa silam termasuk saat melihat deretan model senjata zaman itu yakni keris, gelang yang menunjukkan gelar kepangkatan seseorang, hingga peralatan masak seperti kuali, serta tempat untuk mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu.

Pada masa pengaruh Islam, juga ditemukan kitab Tafsir Jalalain, kitab Ushul, dan kitab Ushul Fiqh seluruhnya tulisan tangan dan saat ini kitab-kitab tersebut berada di Museum Mahameru Blora. Sementara pada masa pengaruh Kolonial, di Blora juga ditemukan Peples tentara, senapan VOC, lubang ventilasi, radio, klise foto berbahan kaca, piring KNIL, dan filter air.

Filter air ditemukan di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora. Alat tersebut dibuat di Inggris dan diperkirakan berasal dari awal abad ke-19. Di Desa Kunden, Kecamatan Blora, juga ditemukan pot bunga yang terbuat dari keramik yang diperkirakan dibuat pada masa dinasti Ming 1368-1643 M. “Yang terbaru saat ini adalah rekonstruksi gading gajah berukuran sekitar 150 sentimeter,” kata Gembong.

Rekonstruksi tersebut dimaksudkan untuk kembali merangkai gading gajah yang sudah pecah dan dilakukan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. “Kita juga menemukan fosil gajah purba dan saat ini seluruh benda cagar budaya tersebut berada di Badan Geologi Bandung. Di lokasi masih banyak fosil yang belum diangkat sehingga tempatnya harus diamankan,” katanya.

Gembong menjelaskan, masih adanya fosil yang belum diangkat tersebut karena terkendala dana. Oleh karena itu, langkah darurat yang dilakukan adalah dengan melindungi daerah yang menjadi ladang benda cagar budaya agar tidak diganggu. Ada tiga daerah yang menjadi perhatian khusus terutama karena banyaknya benda cagar budaya yang ditemukan di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut yakni Kecamatan Kradenan, Kecamatan Todanan, dan Kecamatan Blora.

Potensi Lain

Tidak hanya di Museum Mahameru, sejumlah benda bersejarah lainnya juga dapat ditemukan di Kabupaten Blora seperti di makam yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora yang merupakan makam bupati-bupati Blora masa lalu. Di pintu masjid Ngadipurwo tersebut, terdapat prasasti dari kayu bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa.

Makam lain yang merupakan peninggalan masa pengaruh Islam yakni makam Sunan Janjang yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken. Bentuk makam dan nisannya secara keseluruhan termasuk bahan bangunan memiliki nilai sejarah tinggi.

Peninggalan Belanda sampai sekarang juga masih dapat disaksikan langsung yakni stasiun kereta api dan lokomotif di Kecamatan Cepu. Jalur pertama Semarang-Kedungjati diresmikan tahun 1871.

Bagi Erna Sutisni (32) warga Dukuh Sasak, Kelurahan Buluroto, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, banyak potensi benda bersejarah di Kabupaten Blora yang layak dikembangkan. “Saya kaget, ternyata di Blora terdapat museum yang sangat luar biasa. Banyak juga ternyata benda cagar budaya yang ditemukan di sini,” katanya saat ditemui sedang melihat-lihat fosil gading gajah di Museum Mahameru.

Bersama dua anaknya, Erna sebenarnya berada di Museum Mahameru secara kebetulan. Tujuan utamanya, mengajak dua anaknya berenang di tempat wisata Tirtonadi yang berada dalam satu kompleks dengan museum. “Lokasi museum ini, sangat strategis. Seharusnya lebih dikembangkan dengan terus meningkatkan sosialisasi ke masyarakat,” katanya.

Febri, warga Ketanggar, Kecamatan Blora juga mengakui Blora memiliki potensi benda bersejarah yang sangat baik dan bisa digunakan sebagai pengetahuan bagi generasi mendatang. “Mohon ditambah koleksinya,” katanya.

Menelusuri Benda Cagar Budaya Blora

Kabupaten Blora yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Tengah banyak menyimpan benda cagar budaya yang ditemukan oleh masyarakat serta hasil dari penyisiran geologi. Mulai dari fosil kepala kerbau, kuburan batu, arca Ganesha, genteng buatan tahun 1910, sampai peninggalan masa kolonial berupa senapan VOC, lubang ventilasi, hingga klise foto yang berbahan kaca.

Berdasarkan temuan benda cagar budaya tersebut, dapat dibagi dalam lima masa yakni masa prasejarah, masa pengaruh Hindu Budha, masa pengaruh Islam, masa kolonial, dan masa pascakemerdekaan. Peninggalan masa prasejarah ditemukan fosil kepala kerbau di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan lain di Desa Jiken, Kecamatan Jiken berupa batu bulat berdiameter 20 sentimeter berbahan batu lokal. Diperkirakan batu tersebut, dipakai untuk berburu binatang. Bola diikatkan pada tali, kemudian dilempar ke kaki binatang.

Di Kecamatan yang sama, di Desa Bleboh, ditemukan kubur peti batu di hutan jati daerah setempat. Kubur peti batu tersebut, merupakan salah satu bangunan Megalithikum yang muncul pada masa perundagian pada sekitar 500 SM.

Didirikannya bangunan pada masa Megalithikum, menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan pusat pemujaan yang memiliki kekuatan supranatural.

Blora juga menyimpan situs masa Hindu Budha berupa arca Ganesha, Siwa Mahadewa, Agastya, Nandiswara, dan dua arca lain yang sulit diidentifikasi karena sudah aus yang ditemukan di Kecamatan Blora.

Tumpukan batu bata kuno dan dua antefik atau hiasan pada atap candi yang berasal dari tanah liat bakar ditemukan di Kuwung, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan antefik tersebut, menunjukkan bahwa dahulu ada bangunan candi di daerah itu dengan lokasi daerahnya yang relatif tinggi.

Di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngawen juga ditemukan lumpang batu yang berfungsi untuk menumbuk biji-bijian sekaligus sebagai benda religi.

Museum Mahameru

Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Kekayaan dan Keragaman Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Gembong Setyopujiono menjelaskan untuk menyelamatkan benda cagar budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora bekerja sama dengan Yayasan Mahameru.

“Oleh karena itu, nama Mahameru kita jadikan nama Museum Kabupaten Blora,” katanya.

Gembong menjelaskan, seluruh temuan masyarakat maupun hasil penyisiran saat ini berada di Museum Mahameru yang beralamat di Jalan Reksodiputro atau komplek Tirtonadi Blora.

Memasuki Museum Mahameru, pengunjung seolah dibawa ke masa silam termasuk saat melihat deretan model senjata zaman itu yakni keris, gelang yang menunjukkan gelar kepangkatan seseorang, hingga peralatan masak seperti kuali, serta tempat untuk mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu.

Pada masa pengaruh Islam, juga ditemukan kitab Tafsir Jalalain, kitab Ushul, dan kitab Ushul Fiqh seluruhnya tulisan tangan dan saat ini kitab-kitab tersebut berada di Museum Mahameru Blora.

Sementara pada masa pengaruh Kolonial, di Blora juga ditemukan Peples tentara, senapan VOC, lubang ventilasi, radio, klise foto berbahan kaca, piring KNIL, dan filter air.

Filter air ditemukan di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora. Alat tersebut dibuat di Inggris dan diperkirakan berasal dari awal abad ke-19. Di Desa Kunden, Kecamatan Blora, juga ditemukan pot bunga yang terbuat dari keramik yang diperkirakan dibuat pada masa dinasti Ming 1368-1643 M.

“Yang terbaru saat ini adalah rekonstruksi gading gajah berukuran sekitar 150 sentimeter,” kata Gembong.

Rekonstruksi tersebut dimaksudkan untuk kembali merangkai gading gajah yang sudah pecah dan dilakukan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung.

“Kita juga menemukan fosil gajah purba dan saat ini seluruh benda cagar budaya tersebut berada di Badan Geologi Bandung. Di lokasi masih banyak fosil yang belum diangkat sehingga tempatnya harus diamankan,” katanya.

Gembong menjelaskan, masih adanya fosil yang belum diangkat tersebut karena terkendala dana. Oleh karena itu, langkah darurat yang dilakukan adalah dengan melindungi daerah yang menjadi ladang benda cagar budaya agar tidak diganggu.

Ada tiga daerah yang menjadi perhatian khusus terutama karena banyaknya benda cagar budaya yang ditemukan di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut yakni Kecamatan Kradenan, Kecamatan Todanan, dan Kecamatan Blora.

Potensi Lain

Tidak hanya di Museum Mahameru, sejumlah benda bersejarah lainnya juga dapat ditemukan di Kabupaten Blora seperti di makam yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora yang merupakan makam bupati-bupati Blora masa lalu.

Di pintu masjid Ngadipurwo tersebut, terdapat prasasti dari kayu bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa.

Makam lain yang merupakan peninggalan masa pengaruh Islam yakni makam Sunan Janjang yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken. Bentuk makam dan nisannya secara keseluruhan termasuk bahan bangunan memiliki nilai sejarah tinggi.

Peninggalan Belanda sampai sekarang juga masih dapat disaksikan langsung yakni stasiun kereta api dan lokomotif di Kecamatan Cepu. Jalur pertama Semarang-Kedungjati diresmikan tahun 1871.

Jejak Sejarah Islam Blora di Museum Mahameru

MUSEUM Mahameru yang terletak di kompleks wisata Taman Tirtonadi Blora menyimpan banyak koleksi benda bersejarah peninggalan zaman kerajaan di Indonesia. Benda-benda itu hampir seluruhnya ditemukan di Blora. Dari sekian banyak koleksi yang tersimpan itu sebagian bernuansa islam. Itu ditunjukkan dengan terdapatkan huruf arab pada benda-benda tersebut. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan, tafsir Alquran, dan kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. “Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto.

Indikasinya, antara lain didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 Hijriah (1428 Masehi) oleh ulama mesir.

Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain, berisi tafsir Alquran surat Al Kahfi sampai Juz 29, ditulis Syeh As-Suyuti dari Mesir. Dari beberapa benda koleksi bernuansa islam di Museum Mahameru, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken, Kecamatan Jiken.

Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika perang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 Masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. “Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,” tandasnya.

Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa islam adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri atas tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid, serta tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi.

Dari tulisan di dalam kitab diketahui, pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir, Desa Sukorame, Distrik Tunjungan, Blora. Ada juga kitab yang terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu Sayidina (masalah tanya jawab tentang ilmu islam), Maírifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid, dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih.

Selain itu, ada Alquran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan, benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. “Itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,” tandasnya.

Sejumlah versi sejarah menyebutkan, Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan†dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Sejarah itu pernah dikemukakan Kanjeng Raden Tumenggung H Harjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Yogyakarta, khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu.

Harjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.

Semasa hidupnya dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.

Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram kala itu.

Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 November 1626. Usai menjalankan tugasnya, Sunan Pojok kembali ke Blora.

Samin Surosentiko dan Suku Samin

Samin Surosentiko dan Ajarannya
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.

Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi

Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.

Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh

Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto

Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.

Samin Surosentiko dan Ajarannya

Ajaran Kebatinan

Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.

Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.

Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :

“Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.”

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :

“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer” adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:

“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.

Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.

Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi :

“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing….”

Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:

“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan…,”

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “ angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup “

Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :

“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”

Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.

Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :

“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”

Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini :

“ Saha malih dadya garan,

anggegulang gelunganing pembudi,

palakrama nguwoh mangun,

memangun traping widya,

kasampar kasandhung dugi prayogantuk,

ambudya atmaja tama,

mugi-mugu dadi kanthi.”

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Ajaran Politik

Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :

1.Penolakan membayar pajak

2.penolakan memperbaiki jalan

3.penolakan jaga malam (ronda)

4.penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.

Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.

Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.

DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU DIPERHATIKAN JASA-JASANYA.

Tayuban

Kamis, 09 Oktober 2008
Tayuban

Sekilas tentang Tayuban

Tayuban, sebagai buah tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Blora telah mengalami pasang-surut apresiasi. Awalnya adalah seni gambyong istana bernilai tinggi. Berkembang menjadi seni gambyong di luar istana, lantas terdegradasi menjadi seni rakyat berkualitas rendah, mesum, bertendensi prostitusi. Sampai tiba saatnya ditingkatkan menjadi kesenian tari pergaulan, namun belakangan terancam turun martabat lagi menjadi ajang ribut dan mabuk-mabukan.



Etimologi Tayuban

Ahli filologi dan folklor humanis dari Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (alm.) dalam Tradisi dari Blora (1996) menyoroti etimologi kata "tayuban" dalam dua pengertian. Pertama, berdasarkan kata dasarnya, "tayub", yang dalam tradisi lisan dikiratabahasakan menjadi "ditata cik ben guyub" (diatur agar menjadi kerukunan orang). Pemberian makna semacam ini tampak misalnya dalam naskah Tayuban: Kesenian Tradisional Khas Daerah Kabupaten Blora (tanpa tahun), susunan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Blora, Seksi Kebudayaan. Kedua, kalau merujuk pada makna kata "tayub" dalam kamus, etimologi rakyat semacam itu tentu bertolak belakang. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Suripan menemukan makna "tayub" adalah "kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek" (bersuka ria menari bersama tledek atau wanita penghibur). Namun, di antara perbedaan makna itu Suripan menyimpulkan satu hal yang sama, yakni keduanya mempunyai indikasi pada pengertian tari. Kalau ada dugaan bahwa kata "tayub" ada kaitannya dengan "nayub", kata "nayub" yang bermakna "menari-nari" terdapat pada Kekawin Bharata Yuddha karya Mpu Seddhah dan Mpu Panuluh, tahun 1079 Syaka atau tahun 1157 M. Pada pupuh XIII bait ke-8 terdapat keterangan tentang para pandawa yang, oleh Prof Dr. R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968)

diterjemahkan "menari-nari dan bergembira dengan riuhnya". Kesimpulan yang hampir sama, bahkan ditambahi unsur minuman, diterangkan dalam Kamus Kawi - Jawa susunan Winter dan Ranggawarsita (1987). Di sini, kata "nayub" diberi makna "nayub, ngombe, sukan-sukan", minum minuman keras. Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 - 1954), lewat lema "Nayub, Nayuban" membantah bahwa "nayub" berasal dari kata "tayub",

melainkan dari kata "sayub" yang memiliki arti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras. Apa pun perbedaan yang mendasari,tayuban, dalam perkembangannya kemudian memang terdiri atas dua unsur dominan: tarian dan minuman (keras). Bahwa tayuban bermetamorfosa dari seni tari-tarian biasa menjadi tari beraroma minuman keras, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati (1989), karena proses perkembangannya. Tayuban

lama-kelamaan keluar dari lingkaran pusat pemerintahan semacam keraton,

menjadi kesenian rakyat. Di lingkungan rakyat, tari ini tidak lagi terjaga dan tidak dapat menunjukkan keutamaan, melainkan menjadi seni rakyat yang bersifat kasar, rendah, dan sepele. Pada seni rakyat yang lebih lebih rendah lagi, tayuban sedikit berubah, menjadi kesenian yang disebut janggrungan. Dalam janggrungan, tulis Suripan, penari dan penyanyi tayuban berkeliling mencari penanggap demi nafkah. Di kebun tebu saat musim panen atau di tepi hutan jati di antara para blandhong (penebang kayu). Dalam tingkatan inilah, tayuban menjadi berkonotasi mesum, menjadi bentuk lain dari prostitusi. Celakanya, beberapa kesenian lain yang juga merambah ke kalangan rakyat

terjebak pada bentuk serupa. Gambyongan, ronggeng, ledek, dan tandak,misalnya, dalam suatu periode identik dengan perbuatan amoral bahkan pelacuran.


Minuman dan Suwelan dalam TAYUBAN

Sebuah gambaran di desa terpencil di antara sawah, ladang, dan hutan jati, sekitar

8 km di utara jalan raya Blora - Cepu, Jawa Tengah, sedang menghelat acara sedekah desa. Itu pertanda berakhirnya masa panen padi. Melihat kemeriahannya, sampai didatangi warga dari lain desa, bisalah disimpulkan bahwa panen kali itu terbilang berhasil. Bagi mereka yang berduyun-duyun datang, keberhasilan panen secara ekonomis tak terlalu dipersoalkan. Tayuban, tari sederhana disertai tetembangan diiringi gamelan, harus tetap meriah. Anak-anak dan perempuan merubung, sementara remaja dan laki-laki dewasa bergantian mengalungkan selendang dan menari. Ada pula balita dalam gendongan ayahnya yang ikut menari, yang secara tradisional dipahami sebagai cara memohon berkat lewat gendhing alias lagu yang dipesan. Tiga perempuan bersanggul dan berkemben, berias muka seperti umumnya bintang panggung, menyanyi bergoyang dalam iringan gamelan yang ditabuh oleh sekelompok wiyaga. Ada lagu yang masuk dalam daftar untuk disajikan, ada pula lagu yang dinyanyikan berdasarkan permintaan. Prosedur permintaan, yang kalau di kafe atau klub malam disebut request, itu cukup unik. Si pemesan, entah perseorangan atau kelompok, wajib membayar ongkos mengubah daftar lagu alias melakukan walik gendhing. Uang dengan berbagai nominal, rata-rata berkisar Rp 1.000,- hingga Rp 10.000,-, dimasukkan ke dalam bejana di depan formasi gamelan. Para laki-laki yang menari bergiliran diatur oleh seorang pria yang berfungsi sebagai pengarih atau pramugari. Mereka menari dalam aneka ekspresi. Keasyikan bertambah dengan beredarnya arak putih tradisional, bir, dan aneka minuman dalam gelas-gelas kecil. Para pemuda dan laki-laki dewasa duduk dalam beberapa kelompok sambil minum di seputar penjaja minuman maupun makanan di luar arena tari, sementara di dalam arena mereka bergantian menerima uluran sloki-sloki berisi minuman keras dari penari tayub. Minuman habis dalam satu tenggakan, kemudian si laki-laki mengeluarkan uang kertas dari sakunya, lantas diselipkan di kemben penari. Itulah suwelan, ongkos ekstra yang diterima penari-penyanyi tayub, yang jumlahnya kadang lebih besar daripada honor dari pihak yang mengundangnya. Ada laki-laki yang bersemangat menari, ada yang sibuk menempelkan badan kepada sang primadona. Ada yang mengejap-kejapkan mata tanpa peduli muka sudah merah dan berminyak, ada pula yang terhuyung-huyung. Yang terkapar di luar arena jangan ditanya. Ada yang sampai muntah segala. Padahal saat itu matahari bersinar terik, dan arena di bawah pohon kihujan raksasa cuma sebagian yang diberi atap. Satu babak tayuban berakhir menjelang sore hari. Babak berikutnya dilanjutkan malam harinya. Begitulah biasanya. Satu paket tayuban berlangsung siang dan malam.

Kemakmuran bagi pelaku seni

Di masa Orde Baru, tayuban dipupuk menjadi simbol kesenian daerah. Konotasi mesumnya dihilangkan, dikemas menjadi tari pergaulan. Ada pembinaan di tingkat dinas Kabupaten, dan tayub pun menjadi lahan profesi. Menurut Drs. H. Handono Mulyo, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Diknas Kab.Blora "Ada sekitar 1.000 penari tayub yang terdaftar yang berada di antara sekitar 6.000 pelaku aneka jenis kesenian yang masuk dalam wilayah binaan kami." Pembinaan meliputi penataran, upaya peningkatan kualitas, pengaturan, dan perizinan. "Ada potongan yang diminta dari setiap honorarium penari tayub, dan itu kami gunakan untuk menutupi kekurangan biaya seperti honor bagi mereka yang belum diangkat menjadi pegawai negeri, para pembina tingkat kecamatan, dan macam-macam lagiKebetulan, suasana kesenian di wilayah itu marak dalam beberapa tahun belakangan. Tayub berkembang beriringan dengan aneka kesenian lain seperti campursari dan musik dangdut. Ini memberi kehidupan bagi para pekerja seni. Seorang penari tayub, misalnya, dalam sekali tanggapan siang dan malam menerima honor antara Rp. 300.000,- - 500.000,-. Bagi penari senior, angkanya bisa 1,5 sampai dua kali lipat. Itu jelas jumlah bersih di luar tips dan suwelan. Setiap naik panggung, penari tayub didampingi pengguyub yang jumlahnya antara satu dan empat orang. Mereka punya honor tersendiri dan menerima suwelan pula. .Kemakmuran rata-rata penari tayub memang terasa. Badan dan wajah terawat, dandanan standar kota besar, dan ketika naik panggung pun melengkapi diri dengan bahan rias dan aksesori pakaian yang cukup berkelas, rata-rata penari tayub punya mobil Penari tayub menjadi sentral dari kelompok pertunjukan yang terdiri atas belasan orang. Tarif penyelenggaraan saat ini bisa mencapai Rp. 2.000.000,- untuk 11 - 14 orang penabuh gamelan atau wiyaga,sinden, serta biaya generator untuk listrik bagi tata lampu dan tata suara. Dari proses apakah seorang penari tayub "dilahirkan"? Seorang penari tayub menyatakan, ia bisa karena belajar sendiri. "Dari kecil saya sudah mengenal dunia ini, terus ama-lama mengikuti dan bisa. Pasti, dunia tayub tak sesimpel yang dikemukakannya. Jelas melalui proses yang cukup panjang untuk bisa punya nama, hapal ratusan lagu dan cara melantunkannya, juga punya fisik yang prima untuk terus bekerja.

Ribut itu biasa

Tak semua tayuban berlangsung vulgar dan liar. Di kawasan yang rasa keagamaannya dominan, penari tayub mengenakan kebaya dan tidak ada uang suwelan di dalam kemben. Mereka yang meminta selendang diatur melalui pendaftaran, dan ketika menari pun melepas alas kaki. Namun agaknya ciri utama tak bisa dihilangkan. Minuman keras, walau beredar di kejauhan, umumnya tetap ada. Ihwal aroma minuman keras yang semerbak di setiap tayuban, tak lepas dari kebiasaan dan melekat secara historis. Bagi penari tayub pun hal itu dianggap biasa, Pemabuk yang bertindak lepas kontrol dianggap bagian dari profesinya. Keributan sebagai akibat mabuk, juga biasa. Tapi keributan dalam tayuban tidak pernah membesar sampai jadi tawuran. Berbeda misalnya dengan pergelaran orkes dangdut atau campursari. Tayuban memang bukan semata-mata pertunjukan musik yang memisahkan pemain dengan penontonnya. Penari, penyanyi, dan penabuh gamelan adalah pusat dari acara itu sendiri. Di situlah kendali terjadi, menciptakan keasyikan tersendiri tanpa harus ribut atau berkelahi.Semoga Tayuban bisa berjalan di atas rel yang benar dan bisa menjadi salah satu ikon kesenian di Kabupaten Blora.