Museum Mahameru Blora

Museum Mahameru Blora
Museum Mahameru Blora

Selasa, 30 Maret 2010

Fosil Gajah Blora


Sejumah pengunjung melihat fosil gajah Blora (Elephas Sp) di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Selasa (29/9). Fosil Gajah purba asal Blora yang berumur 200 ribu tahun dan dengan tinggi mencapai 5 Meter dan Berat 10 Ton tersebut telah dipamerkan kepada publik sebagai koleksi terbaru Museum Geologi Bandung. Fosil Gajah tersebut merupakan fosil Gajah terbesar yang ditemukan di Indonesia.

Blora Kota Sejuta Benda Cagar Budaya

Keberadaan Indonesia yang kaya akan benda cagar budaya memang sudah tidak diragukan lagi. Hampir disetiap daerah terdapat benda-benda cagar budaya yang tidak ternilai harganya sebagai warisan dan sekaligus pertanda betapa hebatnya nenek moyang kita dulu. Bagi anda yang suka melakukan perjalanan wisata ketempat yang memiliki benda-benda cagar budaya, mengunjungi daerah Blora, Jawa Tengah mungkin menjadi salah satu alternatif.

Kabupaten Blora yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Tengah banyak menyimpan benda cagar budaya, baik yang ditemukan oleh masyarakat maupun hasil dari penyisiran geologi. Mulai dari fosil kepala kerbau, kuburan batu, arca Ganesha, genteng buatan tahun 1910, sampai peninggalan masa kolonial berupa senapan VOC, lubang ventilasi, hingga klise foto yang berbahan kaca ada di tempat ini.

Berdasarkan temuan benda cagar budaya tersebut, dapat dibagi dalam lima masa yakni masa prasejarah, masa pengaruh Hindu Budha, masa pengaruh Islam, masa kolonial, dan masa pascakemerdekaan. Peninggalan masa prasejarah ditemukan fosil kepala kerbau di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan lain di Desa Jiken, Kecamatan Jiken berupa batu bulat berdiameter 20 sentimeter berbahan batu lokal. Diperkirakan batu tersebut, dipakai untuk berburu binatang. Bola diikatkan pada tali, kemudian dilempar ke kaki binatang.

Di Kecamatan yang sama, di Desa Bleboh, ditemukan kubur peti batu di hutan jati daerah setempat. Kubur peti batu tersebut, merupakan salah satu bangunan Megalithikum yang muncul pada masa perundagian pada sekitar 500 SM. Didirikannya bangunan pada masa Megalithikum, menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan pusat pemujaan yang memiliki kekuatan supranatural.

Blora juga menyimpan situs masa Hindu Budha berupa arca Ganesha, Siwa Mahadewa, Agastya, Nandiswara, dan dua arca lain yang sulit diidentifikasi karena sudah aus yang ditemukan di Kecamatan Blora. Tumpukan batu bata kuno dan dua antefik atau hiasan pada atap candi yang berasal dari tanah liat bakar ditemukan di Kuwung, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan antefik tersebut, menunjukkan bahwa dahulu ada bangunan candi di daerah itu dengan lokasi daerahnya yang relatif tinggi. Di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngawen juga ditemukan lumpang batu yang berfungsi untuk menumbuk biji-bijian sekaligus sebagai benda religi.

Museum Mahameru

Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Kekayaan dan Keragaman Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Gembong Setyopujiono menjelaskan, untuk menyelamatkan benda cagar budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora bekerja sama dengan Yayasan Mahameru. Gembong menjelaskan, seluruh temuan masyarakat maupun hasil penyisiran saat ini berada di Museum Mahameru yang beralamat di Jalan Reksodiputro atau komplek Tirtonadi Blora. “Oleh karena itu, nama Mahameru kita jadikan nama Museum Kabupaten Blora,” katanya.

Memasuki Museum Mahameru, pengunjung seolah dibawa ke masa silam termasuk saat melihat deretan model senjata zaman itu yakni keris, gelang yang menunjukkan gelar kepangkatan seseorang, hingga peralatan masak seperti kuali, serta tempat untuk mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu.

Pada masa pengaruh Islam, juga ditemukan kitab Tafsir Jalalain, kitab Ushul, dan kitab Ushul Fiqh seluruhnya tulisan tangan dan saat ini kitab-kitab tersebut berada di Museum Mahameru Blora. Sementara pada masa pengaruh Kolonial, di Blora juga ditemukan Peples tentara, senapan VOC, lubang ventilasi, radio, klise foto berbahan kaca, piring KNIL, dan filter air.

Filter air ditemukan di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora. Alat tersebut dibuat di Inggris dan diperkirakan berasal dari awal abad ke-19. Di Desa Kunden, Kecamatan Blora, juga ditemukan pot bunga yang terbuat dari keramik yang diperkirakan dibuat pada masa dinasti Ming 1368-1643 M. “Yang terbaru saat ini adalah rekonstruksi gading gajah berukuran sekitar 150 sentimeter,” kata Gembong.

Rekonstruksi tersebut dimaksudkan untuk kembali merangkai gading gajah yang sudah pecah dan dilakukan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung. “Kita juga menemukan fosil gajah purba dan saat ini seluruh benda cagar budaya tersebut berada di Badan Geologi Bandung. Di lokasi masih banyak fosil yang belum diangkat sehingga tempatnya harus diamankan,” katanya.

Gembong menjelaskan, masih adanya fosil yang belum diangkat tersebut karena terkendala dana. Oleh karena itu, langkah darurat yang dilakukan adalah dengan melindungi daerah yang menjadi ladang benda cagar budaya agar tidak diganggu. Ada tiga daerah yang menjadi perhatian khusus terutama karena banyaknya benda cagar budaya yang ditemukan di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut yakni Kecamatan Kradenan, Kecamatan Todanan, dan Kecamatan Blora.

Potensi Lain

Tidak hanya di Museum Mahameru, sejumlah benda bersejarah lainnya juga dapat ditemukan di Kabupaten Blora seperti di makam yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora yang merupakan makam bupati-bupati Blora masa lalu. Di pintu masjid Ngadipurwo tersebut, terdapat prasasti dari kayu bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa.

Makam lain yang merupakan peninggalan masa pengaruh Islam yakni makam Sunan Janjang yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken. Bentuk makam dan nisannya secara keseluruhan termasuk bahan bangunan memiliki nilai sejarah tinggi.

Peninggalan Belanda sampai sekarang juga masih dapat disaksikan langsung yakni stasiun kereta api dan lokomotif di Kecamatan Cepu. Jalur pertama Semarang-Kedungjati diresmikan tahun 1871.

Bagi Erna Sutisni (32) warga Dukuh Sasak, Kelurahan Buluroto, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora, banyak potensi benda bersejarah di Kabupaten Blora yang layak dikembangkan. “Saya kaget, ternyata di Blora terdapat museum yang sangat luar biasa. Banyak juga ternyata benda cagar budaya yang ditemukan di sini,” katanya saat ditemui sedang melihat-lihat fosil gading gajah di Museum Mahameru.

Bersama dua anaknya, Erna sebenarnya berada di Museum Mahameru secara kebetulan. Tujuan utamanya, mengajak dua anaknya berenang di tempat wisata Tirtonadi yang berada dalam satu kompleks dengan museum. “Lokasi museum ini, sangat strategis. Seharusnya lebih dikembangkan dengan terus meningkatkan sosialisasi ke masyarakat,” katanya.

Febri, warga Ketanggar, Kecamatan Blora juga mengakui Blora memiliki potensi benda bersejarah yang sangat baik dan bisa digunakan sebagai pengetahuan bagi generasi mendatang. “Mohon ditambah koleksinya,” katanya.

Menelusuri Benda Cagar Budaya Blora

Kabupaten Blora yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Tengah banyak menyimpan benda cagar budaya yang ditemukan oleh masyarakat serta hasil dari penyisiran geologi. Mulai dari fosil kepala kerbau, kuburan batu, arca Ganesha, genteng buatan tahun 1910, sampai peninggalan masa kolonial berupa senapan VOC, lubang ventilasi, hingga klise foto yang berbahan kaca.

Berdasarkan temuan benda cagar budaya tersebut, dapat dibagi dalam lima masa yakni masa prasejarah, masa pengaruh Hindu Budha, masa pengaruh Islam, masa kolonial, dan masa pascakemerdekaan. Peninggalan masa prasejarah ditemukan fosil kepala kerbau di Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan lain di Desa Jiken, Kecamatan Jiken berupa batu bulat berdiameter 20 sentimeter berbahan batu lokal. Diperkirakan batu tersebut, dipakai untuk berburu binatang. Bola diikatkan pada tali, kemudian dilempar ke kaki binatang.

Di Kecamatan yang sama, di Desa Bleboh, ditemukan kubur peti batu di hutan jati daerah setempat. Kubur peti batu tersebut, merupakan salah satu bangunan Megalithikum yang muncul pada masa perundagian pada sekitar 500 SM.

Didirikannya bangunan pada masa Megalithikum, menunjukan bahwa daerah tersebut merupakan pusat pemujaan yang memiliki kekuatan supranatural.

Blora juga menyimpan situs masa Hindu Budha berupa arca Ganesha, Siwa Mahadewa, Agastya, Nandiswara, dan dua arca lain yang sulit diidentifikasi karena sudah aus yang ditemukan di Kecamatan Blora.

Tumpukan batu bata kuno dan dua antefik atau hiasan pada atap candi yang berasal dari tanah liat bakar ditemukan di Kuwung, Desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan.

Penemuan antefik tersebut, menunjukkan bahwa dahulu ada bangunan candi di daerah itu dengan lokasi daerahnya yang relatif tinggi.

Di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngawen juga ditemukan lumpang batu yang berfungsi untuk menumbuk biji-bijian sekaligus sebagai benda religi.

Museum Mahameru

Kepala Seksi (Kasi) Pengelolaan Kekayaan dan Keragaman Budaya Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Gembong Setyopujiono menjelaskan untuk menyelamatkan benda cagar budaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Blora bekerja sama dengan Yayasan Mahameru.

“Oleh karena itu, nama Mahameru kita jadikan nama Museum Kabupaten Blora,” katanya.

Gembong menjelaskan, seluruh temuan masyarakat maupun hasil penyisiran saat ini berada di Museum Mahameru yang beralamat di Jalan Reksodiputro atau komplek Tirtonadi Blora.

Memasuki Museum Mahameru, pengunjung seolah dibawa ke masa silam termasuk saat melihat deretan model senjata zaman itu yakni keris, gelang yang menunjukkan gelar kepangkatan seseorang, hingga peralatan masak seperti kuali, serta tempat untuk mendinginkan nasi yang terbuat dari kayu.

Pada masa pengaruh Islam, juga ditemukan kitab Tafsir Jalalain, kitab Ushul, dan kitab Ushul Fiqh seluruhnya tulisan tangan dan saat ini kitab-kitab tersebut berada di Museum Mahameru Blora.

Sementara pada masa pengaruh Kolonial, di Blora juga ditemukan Peples tentara, senapan VOC, lubang ventilasi, radio, klise foto berbahan kaca, piring KNIL, dan filter air.

Filter air ditemukan di Kelurahan Kunden, Kecamatan Blora. Alat tersebut dibuat di Inggris dan diperkirakan berasal dari awal abad ke-19. Di Desa Kunden, Kecamatan Blora, juga ditemukan pot bunga yang terbuat dari keramik yang diperkirakan dibuat pada masa dinasti Ming 1368-1643 M.

“Yang terbaru saat ini adalah rekonstruksi gading gajah berukuran sekitar 150 sentimeter,” kata Gembong.

Rekonstruksi tersebut dimaksudkan untuk kembali merangkai gading gajah yang sudah pecah dan dilakukan oleh Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Bandung.

“Kita juga menemukan fosil gajah purba dan saat ini seluruh benda cagar budaya tersebut berada di Badan Geologi Bandung. Di lokasi masih banyak fosil yang belum diangkat sehingga tempatnya harus diamankan,” katanya.

Gembong menjelaskan, masih adanya fosil yang belum diangkat tersebut karena terkendala dana. Oleh karena itu, langkah darurat yang dilakukan adalah dengan melindungi daerah yang menjadi ladang benda cagar budaya agar tidak diganggu.

Ada tiga daerah yang menjadi perhatian khusus terutama karena banyaknya benda cagar budaya yang ditemukan di daerah tersebut. Ketiga daerah tersebut yakni Kecamatan Kradenan, Kecamatan Todanan, dan Kecamatan Blora.

Potensi Lain

Tidak hanya di Museum Mahameru, sejumlah benda bersejarah lainnya juga dapat ditemukan di Kabupaten Blora seperti di makam yang terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora yang merupakan makam bupati-bupati Blora masa lalu.

Di pintu masjid Ngadipurwo tersebut, terdapat prasasti dari kayu bertuliskan huruf Arab berbahasa Jawa.

Makam lain yang merupakan peninggalan masa pengaruh Islam yakni makam Sunan Janjang yang terletak di Desa Janjang, Kecamatan Jiken. Bentuk makam dan nisannya secara keseluruhan termasuk bahan bangunan memiliki nilai sejarah tinggi.

Peninggalan Belanda sampai sekarang juga masih dapat disaksikan langsung yakni stasiun kereta api dan lokomotif di Kecamatan Cepu. Jalur pertama Semarang-Kedungjati diresmikan tahun 1871.

Jejak Sejarah Islam Blora di Museum Mahameru

MUSEUM Mahameru yang terletak di kompleks wisata Taman Tirtonadi Blora menyimpan banyak koleksi benda bersejarah peninggalan zaman kerajaan di Indonesia. Benda-benda itu hampir seluruhnya ditemukan di Blora. Dari sekian banyak koleksi yang tersimpan itu sebagian bernuansa islam. Itu ditunjukkan dengan terdapatkan huruf arab pada benda-benda tersebut. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan, tafsir Alquran, dan kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. “Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto.

Indikasinya, antara lain didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 Hijriah (1428 Masehi) oleh ulama mesir.

Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain, berisi tafsir Alquran surat Al Kahfi sampai Juz 29, ditulis Syeh As-Suyuti dari Mesir. Dari beberapa benda koleksi bernuansa islam di Museum Mahameru, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken, Kecamatan Jiken.

Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika perang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 Masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. “Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,” tandasnya.

Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa islam adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri atas tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid, serta tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi.

Dari tulisan di dalam kitab diketahui, pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir, Desa Sukorame, Distrik Tunjungan, Blora. Ada juga kitab yang terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu Sayidina (masalah tanya jawab tentang ilmu islam), MaĆ­rifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid, dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih.

Selain itu, ada Alquran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan, benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. “Itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,” tandasnya.

Sejumlah versi sejarah menyebutkan, Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan†dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Sejarah itu pernah dikemukakan Kanjeng Raden Tumenggung H Harjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Yogyakarta, khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu.

Harjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.

Semasa hidupnya dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.

Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram kala itu.

Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 November 1626. Usai menjalankan tugasnya, Sunan Pojok kembali ke Blora.

Samin Surosentiko dan Suku Samin

Samin Surosentiko dan Ajarannya
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya. Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.

Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi

Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.

Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh

Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto

Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.

Samin Surosentiko dan Ajarannya

Ajaran Kebatinan

Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.

Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.

Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :

“Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.”

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :

“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer” adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:

“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.

Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.

Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi :

“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing….”

Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:

“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan…,”

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “ angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup “

Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :

“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”

Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.

Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :

“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”

Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini :

“ Saha malih dadya garan,

anggegulang gelunganing pembudi,

palakrama nguwoh mangun,

memangun traping widya,

kasampar kasandhung dugi prayogantuk,

ambudya atmaja tama,

mugi-mugu dadi kanthi.”

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Ajaran Politik

Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :

1.Penolakan membayar pajak

2.penolakan memperbaiki jalan

3.penolakan jaga malam (ronda)

4.penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.

Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.

Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.

DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU DIPERHATIKAN JASA-JASANYA.

Tayuban

Kamis, 09 Oktober 2008
Tayuban

Sekilas tentang Tayuban

Tayuban, sebagai buah tradisi masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Blora telah mengalami pasang-surut apresiasi. Awalnya adalah seni gambyong istana bernilai tinggi. Berkembang menjadi seni gambyong di luar istana, lantas terdegradasi menjadi seni rakyat berkualitas rendah, mesum, bertendensi prostitusi. Sampai tiba saatnya ditingkatkan menjadi kesenian tari pergaulan, namun belakangan terancam turun martabat lagi menjadi ajang ribut dan mabuk-mabukan.



Etimologi Tayuban

Ahli filologi dan folklor humanis dari Universitas Negeri Surabaya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (alm.) dalam Tradisi dari Blora (1996) menyoroti etimologi kata "tayuban" dalam dua pengertian. Pertama, berdasarkan kata dasarnya, "tayub", yang dalam tradisi lisan dikiratabahasakan menjadi "ditata cik ben guyub" (diatur agar menjadi kerukunan orang). Pemberian makna semacam ini tampak misalnya dalam naskah Tayuban: Kesenian Tradisional Khas Daerah Kabupaten Blora (tanpa tahun), susunan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kab.Blora, Seksi Kebudayaan. Kedua, kalau merujuk pada makna kata "tayub" dalam kamus, etimologi rakyat semacam itu tentu bertolak belakang. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939), Suripan menemukan makna "tayub" adalah "kasukan jogedan nganggo dijogedi ing tledek" (bersuka ria menari bersama tledek atau wanita penghibur). Namun, di antara perbedaan makna itu Suripan menyimpulkan satu hal yang sama, yakni keduanya mempunyai indikasi pada pengertian tari. Kalau ada dugaan bahwa kata "tayub" ada kaitannya dengan "nayub", kata "nayub" yang bermakna "menari-nari" terdapat pada Kekawin Bharata Yuddha karya Mpu Seddhah dan Mpu Panuluh, tahun 1079 Syaka atau tahun 1157 M. Pada pupuh XIII bait ke-8 terdapat keterangan tentang para pandawa yang, oleh Prof Dr. R.M. Sutjipta Wirjosuparto (1968)

diterjemahkan "menari-nari dan bergembira dengan riuhnya". Kesimpulan yang hampir sama, bahkan ditambahi unsur minuman, diterangkan dalam Kamus Kawi - Jawa susunan Winter dan Ranggawarsita (1987). Di sini, kata "nayub" diberi makna "nayub, ngombe, sukan-sukan", minum minuman keras. Poerbatjaraka dalam Bahasa dan Budaya III (2 - 1954), lewat lema "Nayub, Nayuban" membantah bahwa "nayub" berasal dari kata "tayub",

melainkan dari kata "sayub" yang memiliki arti ganda: makanan yang sudah basi dan minuman keras. Apa pun perbedaan yang mendasari,tayuban, dalam perkembangannya kemudian memang terdiri atas dua unsur dominan: tarian dan minuman (keras). Bahwa tayuban bermetamorfosa dari seni tari-tarian biasa menjadi tari beraroma minuman keras, menurut Prof. Dr. Edi Sedyawati (1989), karena proses perkembangannya. Tayuban

lama-kelamaan keluar dari lingkaran pusat pemerintahan semacam keraton,

menjadi kesenian rakyat. Di lingkungan rakyat, tari ini tidak lagi terjaga dan tidak dapat menunjukkan keutamaan, melainkan menjadi seni rakyat yang bersifat kasar, rendah, dan sepele. Pada seni rakyat yang lebih lebih rendah lagi, tayuban sedikit berubah, menjadi kesenian yang disebut janggrungan. Dalam janggrungan, tulis Suripan, penari dan penyanyi tayuban berkeliling mencari penanggap demi nafkah. Di kebun tebu saat musim panen atau di tepi hutan jati di antara para blandhong (penebang kayu). Dalam tingkatan inilah, tayuban menjadi berkonotasi mesum, menjadi bentuk lain dari prostitusi. Celakanya, beberapa kesenian lain yang juga merambah ke kalangan rakyat

terjebak pada bentuk serupa. Gambyongan, ronggeng, ledek, dan tandak,misalnya, dalam suatu periode identik dengan perbuatan amoral bahkan pelacuran.


Minuman dan Suwelan dalam TAYUBAN

Sebuah gambaran di desa terpencil di antara sawah, ladang, dan hutan jati, sekitar

8 km di utara jalan raya Blora - Cepu, Jawa Tengah, sedang menghelat acara sedekah desa. Itu pertanda berakhirnya masa panen padi. Melihat kemeriahannya, sampai didatangi warga dari lain desa, bisalah disimpulkan bahwa panen kali itu terbilang berhasil. Bagi mereka yang berduyun-duyun datang, keberhasilan panen secara ekonomis tak terlalu dipersoalkan. Tayuban, tari sederhana disertai tetembangan diiringi gamelan, harus tetap meriah. Anak-anak dan perempuan merubung, sementara remaja dan laki-laki dewasa bergantian mengalungkan selendang dan menari. Ada pula balita dalam gendongan ayahnya yang ikut menari, yang secara tradisional dipahami sebagai cara memohon berkat lewat gendhing alias lagu yang dipesan. Tiga perempuan bersanggul dan berkemben, berias muka seperti umumnya bintang panggung, menyanyi bergoyang dalam iringan gamelan yang ditabuh oleh sekelompok wiyaga. Ada lagu yang masuk dalam daftar untuk disajikan, ada pula lagu yang dinyanyikan berdasarkan permintaan. Prosedur permintaan, yang kalau di kafe atau klub malam disebut request, itu cukup unik. Si pemesan, entah perseorangan atau kelompok, wajib membayar ongkos mengubah daftar lagu alias melakukan walik gendhing. Uang dengan berbagai nominal, rata-rata berkisar Rp 1.000,- hingga Rp 10.000,-, dimasukkan ke dalam bejana di depan formasi gamelan. Para laki-laki yang menari bergiliran diatur oleh seorang pria yang berfungsi sebagai pengarih atau pramugari. Mereka menari dalam aneka ekspresi. Keasyikan bertambah dengan beredarnya arak putih tradisional, bir, dan aneka minuman dalam gelas-gelas kecil. Para pemuda dan laki-laki dewasa duduk dalam beberapa kelompok sambil minum di seputar penjaja minuman maupun makanan di luar arena tari, sementara di dalam arena mereka bergantian menerima uluran sloki-sloki berisi minuman keras dari penari tayub. Minuman habis dalam satu tenggakan, kemudian si laki-laki mengeluarkan uang kertas dari sakunya, lantas diselipkan di kemben penari. Itulah suwelan, ongkos ekstra yang diterima penari-penyanyi tayub, yang jumlahnya kadang lebih besar daripada honor dari pihak yang mengundangnya. Ada laki-laki yang bersemangat menari, ada yang sibuk menempelkan badan kepada sang primadona. Ada yang mengejap-kejapkan mata tanpa peduli muka sudah merah dan berminyak, ada pula yang terhuyung-huyung. Yang terkapar di luar arena jangan ditanya. Ada yang sampai muntah segala. Padahal saat itu matahari bersinar terik, dan arena di bawah pohon kihujan raksasa cuma sebagian yang diberi atap. Satu babak tayuban berakhir menjelang sore hari. Babak berikutnya dilanjutkan malam harinya. Begitulah biasanya. Satu paket tayuban berlangsung siang dan malam.

Kemakmuran bagi pelaku seni

Di masa Orde Baru, tayuban dipupuk menjadi simbol kesenian daerah. Konotasi mesumnya dihilangkan, dikemas menjadi tari pergaulan. Ada pembinaan di tingkat dinas Kabupaten, dan tayub pun menjadi lahan profesi. Menurut Drs. H. Handono Mulyo, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah Dinas Diknas Kab.Blora "Ada sekitar 1.000 penari tayub yang terdaftar yang berada di antara sekitar 6.000 pelaku aneka jenis kesenian yang masuk dalam wilayah binaan kami." Pembinaan meliputi penataran, upaya peningkatan kualitas, pengaturan, dan perizinan. "Ada potongan yang diminta dari setiap honorarium penari tayub, dan itu kami gunakan untuk menutupi kekurangan biaya seperti honor bagi mereka yang belum diangkat menjadi pegawai negeri, para pembina tingkat kecamatan, dan macam-macam lagiKebetulan, suasana kesenian di wilayah itu marak dalam beberapa tahun belakangan. Tayub berkembang beriringan dengan aneka kesenian lain seperti campursari dan musik dangdut. Ini memberi kehidupan bagi para pekerja seni. Seorang penari tayub, misalnya, dalam sekali tanggapan siang dan malam menerima honor antara Rp. 300.000,- - 500.000,-. Bagi penari senior, angkanya bisa 1,5 sampai dua kali lipat. Itu jelas jumlah bersih di luar tips dan suwelan. Setiap naik panggung, penari tayub didampingi pengguyub yang jumlahnya antara satu dan empat orang. Mereka punya honor tersendiri dan menerima suwelan pula. .Kemakmuran rata-rata penari tayub memang terasa. Badan dan wajah terawat, dandanan standar kota besar, dan ketika naik panggung pun melengkapi diri dengan bahan rias dan aksesori pakaian yang cukup berkelas, rata-rata penari tayub punya mobil Penari tayub menjadi sentral dari kelompok pertunjukan yang terdiri atas belasan orang. Tarif penyelenggaraan saat ini bisa mencapai Rp. 2.000.000,- untuk 11 - 14 orang penabuh gamelan atau wiyaga,sinden, serta biaya generator untuk listrik bagi tata lampu dan tata suara. Dari proses apakah seorang penari tayub "dilahirkan"? Seorang penari tayub menyatakan, ia bisa karena belajar sendiri. "Dari kecil saya sudah mengenal dunia ini, terus ama-lama mengikuti dan bisa. Pasti, dunia tayub tak sesimpel yang dikemukakannya. Jelas melalui proses yang cukup panjang untuk bisa punya nama, hapal ratusan lagu dan cara melantunkannya, juga punya fisik yang prima untuk terus bekerja.

Ribut itu biasa

Tak semua tayuban berlangsung vulgar dan liar. Di kawasan yang rasa keagamaannya dominan, penari tayub mengenakan kebaya dan tidak ada uang suwelan di dalam kemben. Mereka yang meminta selendang diatur melalui pendaftaran, dan ketika menari pun melepas alas kaki. Namun agaknya ciri utama tak bisa dihilangkan. Minuman keras, walau beredar di kejauhan, umumnya tetap ada. Ihwal aroma minuman keras yang semerbak di setiap tayuban, tak lepas dari kebiasaan dan melekat secara historis. Bagi penari tayub pun hal itu dianggap biasa, Pemabuk yang bertindak lepas kontrol dianggap bagian dari profesinya. Keributan sebagai akibat mabuk, juga biasa. Tapi keributan dalam tayuban tidak pernah membesar sampai jadi tawuran. Berbeda misalnya dengan pergelaran orkes dangdut atau campursari. Tayuban memang bukan semata-mata pertunjukan musik yang memisahkan pemain dengan penontonnya. Penari, penyanyi, dan penabuh gamelan adalah pusat dari acara itu sendiri. Di situlah kendali terjadi, menciptakan keasyikan tersendiri tanpa harus ribut atau berkelahi.Semoga Tayuban bisa berjalan di atas rel yang benar dan bisa menjadi salah satu ikon kesenian di Kabupaten Blora.

Kesenian Barongan

Kesenian Barong atau lebih dikenal dengan kesenian Barongan merupakan kesenian khas Jawa Tengah. Akan tetapi dari beberapa daerah yang ada di Jawa Tengah Kabupaten Blora lah yang secara kuantitas, keberadaannya lebih banyak bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya.

Seni Barong merupakan salah satu kesenian rakyat yang amat populer dikalangan masyarakat Blora, terutama masyarakat pedesaan. Didalam seni Barong tercermin sifat-sifat kerakyatan masyarakat Blora, seperti sifat : spontanitas, kekeluargaan, kesederhanaan, kasar, keras, kompak, dan keberanian yang dilandasi kebenaran.

Barongan dalam kesenian barongan adalah suatu pelengkapan yang dibuat menyerupai Singo Barong atau Singa besar sebagai penguasa hutan angker dan sangat buas.

Adapun tokoh Singobarong dalam cerita barongan disebut juga GEMBONG AMIJOYO yang berarti harimau besar yang berkuasa.

Kesenian Barongan berbentuk tarian kelompok, yang menirukan keperkasaan gerak seekor Singa Raksasa. Peranan Singo Barong secara totalitas didalam penyajian merupakan tokoh yang sangat dominan, disamping ada beberapa tokoh yang tidak dapat dipisahkan yaitu :

1. Bujangganong / Pujonggo Anom

2. Joko Lodro / Gendruwo

3. Pasukan berkuda / reog

4. Noyontoko

5. Untub

Selain tokoh tersebut diatas pementasan kesenian barongan juga dilengkapi beberapa perlengkapan yang berfungsi sebagai instrumen musik antara lain : Kendang,Gedhuk, Bonang, Saron, Demung dan Kempul. Seiring dengan perkembangan jaman ada beberapa penambahan instrumen modern yaitu berupa Drum, Terompet, Kendang besar dan Keyboards. Adakalanya dalam beberapa pementasan sering dipadukan dengan kesenian campur sari.

Kesenian barongan bersumber dari hikayat Panji, yaitu suatu cerita yang diawali dari iring-iringan prajurit berkuda mengawal Raden Panji Asmarabangun / Pujonggo Anom dan Singo Barong.

Adapun secara singkat dapat diceritakan sebagai berikut :

“ Prabu Klana Sawandana dari Kabupaten Bantarangin jatuh cinta kepada Dewi Sekartaji putri dari Raja Kediri, maka diperintahlah Patih Bujangganong / Pujonggo Anom untuk meminangnya. Keberangkatannya disertai 144 prajurit berkuda yang dipimpin oleh empat orang perwira diantaranya : Kuda Larean, Kuda Panagar, Kuda Panyisih dan Kuda sangsangan. Sampai di hutan Wengkar rombongan Prajurit Bantarangin dihadang oleh Singo Barong sebagai penjelmaan dari Adipati Gembong Amijoyo yang ditugasi menjaga keamanan di perbatasan. Terjadilah perselisihan yang memuncak menjadi peperangan yang sengit. Semua Prajurit dari Bantarangin dapat ditaklukkan oleh Singo Barong, akan tetapi keempat perwiranya dapat lolos dan melapor kepada Sang Adipati Klana Sawandana. Pada saat itu juga ada dua orang Puno Kawan Raden Panji Asmara Bangun dari Jenggala bernama Lurah Noyontoko dan Untub juga mempunyai tujuan yang sama yaitu diutus R. Panji untuk melamar Dewi Sekar Taji. Namun setelah sampai dihutan Wengker, Noyontoko dan Untub mendapatkan rintangan dari Singo Barong yang melarang keduanya utuk melanjutkan perjalanan, namun keduanya saling ngotot sehingga terjadilah peperangan. Namun Noyontoko dan Untub merasa kewalahan sehingga mendatangkan saudara sepeguruannya yaitu Joko Lodro dari Kedung Srengenge. Akhirnya Singo Barong dapat ditaklukkan dan dibunuh. Akan tetapi Singo Barong memiliki kesaktian. Meskipun sudah mati asal disumbari ia dapat hidup kembali. Peristiwa ini kemudian dilaporkan ke R. Panji, kemudian berangkatlah R. Panji dengan rasa marah ingin menghadapi Singo Barong. Pada saat yang hampir bersamaan Adipati Klana Sawendono juga menerima laporan dari Bujangganong ( Pujang Anom ) yang dikalahkan oleh Singo Barong. Dengan rasa amarah Adipati Klana Sawendada mencabut pusaka andalannya, yaitu berupa Pecut Samandiman dan berangkat menuju hutan Wengker untuk membunuh Singo Barong. Setelah sampai di Hutan Wengker dan ketemu dengan Singo Barong, maka tak terhindarkan pertempuran yang sengit antara Adipati Klana Sawendana melawan Singo Barong. Dengan senjata andalannya Adipati Klana Sawendana dapat menaklukkan Singo Barong dengan senjata andalannya yang berupa Pecut Samandiman. Singo Barong kena Pecut Samandiman menjadi lumpuh tak berdaya.

Akan tetapi berkat kesaktian Adipati Klana Sawendana kekuatan Singo Barong dapat dipulihkan kembali, dengan syarat Singo Barong mau mengantarkan ke Kediri untuk melamar Dewi Sekartaji. Setelah sampai di alun-alun Kediri pasukan tersebut bertemu dengan rombongan Raden Panji yang juga bermaksud untuk meminang Dewi Sekartaji. Perselisihanpun tak terhindarkan, akhirnya terjadilah perang tanding antara Raden Panji dengan Adipati Klana Sawendano, yang akhirnya dimenangkan oleh Raden Panji. Adipati Klana Sawendana berhasil dibunuh sedangkan Singo Barong yang bermaksud membela Adipati Klana Sawendana dikutuk oleh Raden Panji dan tidak dapat berubah wujud lagi menjadi manusia ( Gembong Amijoyo ) lagi. Akhrnya Singo Barong Takhluk dan mengabdikan diri kepada Raden Panji, termasuk prajurit berkuda dan Bujangganong dari Kerajaan Bantarangin.

Kemudian rombongan yang dipimpin Raden Panji melanjutkan perjalanan guna melamar Dewi Sekartaji. Suasana arak-arakan yang dipimpin oleh Singo Barong dan Bujangganong inilah yang menjadi latar belakang keberadaan kesenian Barongan.”

Sejarah Blora

Asal Usul Nama Blora

Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama BLORA.

Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah..

Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.

Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan Blora dibawah Kadipaten Jipang

Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi :

Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir ( Hadiwijaya ) mewarisi tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mtaram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755)

Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja di Yogyakarta.

Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain, diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora Kabupaten Blora sebagai Kabupaten

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan hutan jatinya.

Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA.Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu..

Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surasentiko.

Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal.

Beberapa indikator penyebab adana pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain :

· Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora

· Perubahan pola pemakaian tanah komunal

· Pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk


Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan mengharapkan zaman emas yang makmur.

Senin, 29 Maret 2010

Fosil Kerbau purba Ditemukan Di Blora


seorang penggali pasir di Dukuh Singget, Desa Menden, Kecamatan Kradenan, Blora, Jawa Tengah, menemukan fosil kerbau purba berukuran raksasa, Kamis (3/12/2009).

Fosil kerbau itu ditemukan di area penggalian pasir, tepian sungai Bengawan Solo, Blora. Penemuan tidak disengaja ini selanjutnya dilaporkan ke tim vertebrata dan paleontologi untuk diteliti lebih lanjut.

Fosil kepala kerbau yang hampir menyerupai batu ini, pertama kali ditemukan oleh Suparjan. Dia semula menduga, benda yang dia temukan adalah fosil gajah, seperti yang pernah ditemukan dalam kondisi utuh, beberapa waktu lalu.

Suparjan pun akhirnya mengangkat bagian tanduk dan tulang kepala fosil bernama latin bubalus palaeokarabau itu, dari lubang galian, dengan menggunakan linggis serta cangkul.

Tak pelak, temuan ini pun langsung menggemparkan warga dukuh ini. Mereka berbondong-bondong ingin melihat secara langsung temuan ilmiah ini. Warga setempat mengaku, baru kali ini melihat ukuran kerbau yang mempunyai tanduk hingga mencapai satu meter lebih. Selain tanduk terdapat pula sisa fosil yang belum tergali yang diduga tulang belakang dari hewan ini.


Seorang penggali pasir di Dukuh Singget, Desa Menden, Kecamatan Kradenan, Blora, Jawa Tengah, menemukan fosil kerbau purba berukuran raksasa, Kamis (3/12/2009).

Fosil kerbau itu ditemukan di area penggalian pasir, tepian sungai Bengawan Solo, Blora. Penemuan tidak disengaja ini selanjutnya dilaporkan ke tim vertebrata dan paleontologi untuk diteliti lebih lanjut.

Fosil kepala kerbau yang hampir menyerupai batu ini, pertama kali ditemukan oleh Suparjan. Dia semula menduga, benda yang dia temukan adalah fosil gajah, seperti yang pernah ditemukan dalam kondisi utuh, beberapa waktu lalu.

Suparjan pun akhirnya mengangkat bagian tanduk dan tulang kepala fosil bernama latin bubalus palaeokarabau itu, dari lubang galian, dengan menggunakan linggis serta cangkul.

Tak pelak, temuan ini pun langsung menggemparkan warga dukuh ini. Mereka berbondong-bondong ingin melihat secara langsung temuan ilmiah ini. Warga setempat mengaku, baru kali ini melihat ukuran kerbau yang mempunyai tanduk hingga mencapai satu meter lebih. Selain tanduk terdapat pula sisa fosil yang belum tergali yang diduga tulang belakang dari hewan ini.



fosil kerbau purba ditemukan diblora


Seorang penggali pasir di Dukuh Singget, Desa Menden, Kecamatan Kradenan, Blora, Jawa Tengah, menemukan fosil kerbau purba berukuran raksasa, Kamis (3/12/2009).

Fosil kerbau itu ditemukan di area penggalian pasir, tepian sungai Bengawan Solo, Blora. Penemuan tidak disengaja ini selanjutnya dilaporkan ke tim vertebrata dan paleontologi untuk diteliti lebih lanjut.

Fosil kepala kerbau yang hampir menyerupai batu ini, pertama kali ditemukan oleh Suparjan. Dia semula menduga, benda yang dia temukan adalah fosil gajah, seperti yang pernah ditemukan dalam kondisi utuh, beberapa waktu lalu.

Suparjan pun akhirnya mengangkat bagian tanduk dan tulang kepala fosil bernama latin bubalus palaeokarabau itu, dari lubang galian, dengan menggunakan linggis serta cangkul.

Tak pelak, temuan ini pun langsung menggemparkan warga dukuh ini. Mereka berbondong-bondong ingin melihat secara langsung temuan ilmiah ini. Warga setempat mengaku, baru kali ini melihat ukuran kerbau yang mempunyai tanduk hingga mencapai satu meter lebih. Selain tanduk terdapat pula sisa fosil yang belum tergali yang diduga tulang belakang dari hewan ini.