Museum Mahameru Blora

Museum Mahameru Blora
Museum Mahameru Blora

Selasa, 18 Mei 2010

Langen Driya, Jawa Kuno

Mahameru, yayasan yang bergerak di bidang sejarah, budaya, dan arkeologi, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menerjemahkan lakon wayang krucil "Langen Driya" bertuliskan Jawa Kuno. Lakon tujuh jilid yang diterbitkan Balai Pustaka - Batavia Sentram antara 1932-1938 itu berkisah tentang roman zaman Majapahit akhir, Damarwulan dan Kencanawungu.

Ketua Yayasan Mahameru Gatot Pranoto, Sabtu (29/11) di Blora, mengatakan "Langen Driya" merupakan roman jawa kuno jenis pelipur lara. Roman itu hanya beredar di kalangan keraton dan kerap didongengkan kepada anak-anak berdarah biru. Pada zaman Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara VII memerintah Surakarta, ia memperbolehkan "Langen Driya" dibaca masyarakat umum.

Sejak itu, "Langen Driya" menjadi salah satu lakon wayang krucil. Wayang krucil merupakan wayang yang terbuat dari kayu (untuk badan wayang) dan kulit (untuk tangan wayang). Wayang yang berkembang di Jawa Tengah bagian timur itu merupakan sarana syiar Islam.

Menurut Gatot, Mahameru mendapat buku itu dari pensiunan penilik kebudayaan Topowiyono. Ia membeli buku itu di Toko Buku Hoe Sien, Pasar Johar, Semarang. Buku itu diterbitkan percetakan Balai Pustaka - Batavia Sentram yang berdiri pada 1912.

"Satu jilid buku bisa menjadi lima buku tulis biasa," kata Gatot. Pakar tulisan jawa kuno asal Blora Basuki (56) mengatakan roman Damarwulan-Kencanawungu itu mengambil latar belakang Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Handayaningrat atau Brawijaya III. Roman itu terbagi menjadi tujuh lakon yang berkesinambungan.

Lakon-lakon itu adalah "Jumenenganipun Dewi Kencanawungu", "Pejahipun Ronggolawe", "Gunjaran", "Pejahipun Menakjingga", "Ratu Wandhan Dhateng Majapahit", "Damarwulan Jumeneng Nata", dan "Panji Wulung Dhateng Majapahit".

Setiap lakon itu diawali dengan kata "Lampahan". "Sementara ini terjemahan itu masih dalam bentuk tulisan tangan," kata Basuki yang mengaku menerjemahkan buku itu selama tiga tahun.

Perjuangan Mendirikan Rumah Sejarah Blora

Perjuangan Mendirikan Rumah Sejarah Blora


Penemuan sejumlah fosil purba di Desa Singget, Kecamatan Menden oleh sejumlah aktivis yang tergabung dalam wadah Yayasan Mahameru Blora, kiranya perlu mendapat penghargaan atas kepedulian sekelompok kaum muda terhadap benda-benda sejarah di Blora. Untuk mengetahui kiprah Yayasan Mahameru berikut latar belakang liku-liku berdirinya serta obsesi ke depan, wartawan Suara Merdeka, Urip Daryanto, menurunkan laporan dua seri mulai hari ini.

''SEMULA berawal dari rasa iri, meri terhadap kabupaten tetangga seperti Rembang, Pati, Grobogan, dan Bojonegoro (Jawa Timur), saya memberanikan diri untuk mendirikan Mahameru,'' ungkap Ketua Yayasan Mahameru Blora Gatot Pranoto BE dalam bincang-bincangnya dengan Suara Merdeka, baru-baru ini.

Ya, sekitar dua tahun lalu, sebuah yayasan yang sejak awal komit bergerak dalam bidang pelestarian seni budaya tradisonal termasuk di dalamnya soal penelusuran peninggalan benda-benda sejarah telah berdiri di Blora.

Pada awalnya, dengan merekrut beberapa personel muda yang memiliki keinginan untuk pelestarian budaya dan sejarah, obsesi Mahameru masih ambyah-ambyah atau kurang terfokus. ''Ya bagaimana fokus, keberanian untuk mendirikan yayasan hanya dilandasi semangat,'' tutur Gatot. Sebut saja Edi Wuryanto, Margono dan bebeapa personel lain, hanya bermodal tekad kemudian menekuni bidang yang tidak populer ini

Begitu berdiri, tidak tanggung-tanggung langsung berbadan hukum. Kali pertama yang dilakukan sejumlah personel Mahameru adalah menelusuri literatur dan studi lapangan dengan obsesi menyusun buku sejarah Blora. Latar belakangnya, selama ini masih terlalu banyak versi penyusunan sehingga buku sejarah Blora ini belum diketahui ending-nya.

Dana

Orang Blora atau mungkin orang di luar Blora barangkali akan bertanya-tanya, dari mana dukungan dana untuk melaksanakan kerja besar itu. Sementara orang Blora - waktu itu - sudah sangat mafhum akan status sosial orang-orang di Yayasan Mahameru yang sebagian besar sedang-sedang saja.

''Karena keberangkatan kami hanya tekad, ya untuk mendukung kegiatan kami tidak jarang harus urunan. Ada memang partisipasi dan perhatian dari Pemkab Blora, yaitu kucuran dana Rp 5.000.000 untuk setiap tahunnya,'' ungkap Margono.

Gatot Pranoto, Jaringan Pelindung Benda Kuno

Pada era 1980-an, Gatot Pranoto populer di kalangan pedagang barang antik, setidaknya di tiga provinsi, yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Dia terkenal sebagai ”pemain” yang kerap melarikan temuan-temuan arkeologi dan benda-benda kuno dari ”kandangnya” di Kabupaten Blora, Jateng.
Bahkan, seakan tak mau tanggung-tanggung, Gatot mengumpulkan temuan arkeologi dan benda-benda kuno itu di Art Shop, toko barang antik miliknya di Kota Yogyakarta. Harta bendanya itu sangat beragam, mulai dari beraneka fosil, artefak, hingga furnitur kuno.
Semua ”koleksinya” itu dia jual kepada siapa pun yang berminat dengan harga mulai dari Rp 250.000 misalnya untuk lemari obat, hingga Rp 20 juta bagi peminat lemari pakaian berukir motif Kerajaan Demak.
Namun, tahun 1989 Gatot mengalami ”titik balik” dalam kehidupannya. Ia merasa menyesal menjual temuan-temuan arkeologi dan benda-benda kuno yang ditemukan di tanah kelahirannya.
Sejak itulah, ia kemudian memutuskan tidak bermain fosil dan benda kuno lagi. Gatot menutup Art Shop miliknya dan pergi mencari penghidupan baru di Kalimantan.
”Fosil dan benda-benda bersejarah mengandung nilai sosiologis dan historis. Sayang kalau dijual atau hilang dari tempat asalnya. Lewat temuan dan benda itu, seluk-beluk dan karakter suatu daerah seharusnya dapat terbaca,” katanya.
Kembali dari Kalimantan sekitar 10 tahun kemudian, Gatot merintis pengumpulan fosil dan benda-benda bersejarah yang tersebar di segenap penjuru Blora. Tentu saja bukan untuk ”dilarikan” keluar dari Blora, tetapi guna dilindungi dan dilestarikan.
Temuan-temuan itu, misalnya, berupa fosil binatang purba, patung-patung zaman kerajaan Hindu dan Buddha, buku-buku Jawa dan Islam kuno, keramik dari China, dan senjata-senjata zaman prasejarah dan sejarah.
Gatot menyimpan benda-benda itu di gudang di rumahnya, sembari mencari tempat yang dirasakannya cocok untuk mendirikan rumah sejarah atau museum.
Di sela-sela kegiatan mengumpulkan fosil dan benda-benda bersejarah tersebut, Gatot juga rajin membaca buku-buku sejarah, arkeologi, dan seni budaya. Ia kagum dengan pemikiran sejarawan seperti Prof Slamet Mulyono dan arkeolog R Soeksmono.
Menurut Gatot, mereka menelurkan beragam teori sejarah dan arkeologi yang menjadi patokan-patokan perlindungan dan pelestarian benda-benda cagar budaya. Selain itu, mereka juga terlibat langsung dalam upaya menguri-uri benda cagar budaya dengan cara masing-masing.
”Slamet dan Soeksmono selalu membangun jaringan di sekitar tempat penelitian atau yang berpotensi mengandung benda-benda purba dan sejarah,” ujar Gatot.
Jaringan pelindung
Gatot berupaya menerapkan cara yang telah dilakukan kedua ”idolanya” itu di wilayah Blora. Pada tahun 2001, ia merekrut sejumlah orang di 16 kecamatan di Blora yang peduli dengan benda-benda cagar budaya. Mereka terdiri dari petani, guru, tokoh masyarakat, pemuda kampung, dan para seniman.
”Mereka bekerja tanpa upah di sela-sela kesibukan sehari-hari. Jika mengeksplorasi sebuah daerah, mereka hanya membawa bekal nasi kucing dan sebotol minuman,” cerita Gatot.
Satu tahun kemudian, tepatnya 16 Mei 2002, Gatot mendeklarasikan berdirinya Yayasan Mahameru. Yayasan itu merupakan lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pengembangan dan pemberdayaan seni, budaya, tradisi, dan benda-benda cagar budaya di Blora.
Dengan berdirinya yayasan itu, semakin banyak benda cagar budaya yang ditemukan. Benda-benda yang sekiranya kurang aman, dibawa untuk disimpan di rumah Gatot. Adapun benda-benda yang permanen dan masih menjadi bagian budaya masyarakat setempat, tetap di tempatnya semula dengan pengawasan berbasis partisipasi masyarakat.
Lantaran ruang di rumahnya tak cukup lagi menampung temuan dan benda cagar budaya itu, pada 2002 Gatot mendapat pinjaman rumah kosong di Jalan Blora-Rembang Kilometer 5. Lokasi ini lalu menjadi semacam museum kecil. Rumah yang diresmikan Bupati Blora (almarhum) Basuki Widodo itu diberi nama Rumah Sejarah.
Tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Blora memfasilitasi Yayasan Mahameru untuk membangun museum di kompleks Taman Bermain Tirtonadi. Museum itu bernama Museum Mahameru.
Kini, museum itu mengoleksi sekitar 500 fosil dan benda kuno. Koleksi Museum Mahameru yang menjadi unggulan adalah kapak tangan dari batu (chopper), pipa air dari terakota, dan arca Siwa yang belum selesai.
Jaringan Gatot yang tergabung dalam Yayasan Mahameru juga menerjemahkan lakon wayang krucil ”Langen Driya” bertuliskan Jawa kuno. Lakon tujuh jilid yang diterbitkan Balai Pustaka-Batavia Sentram 1932-1938 itu berkisah tentang roman zaman Majapahit akhir, Damarwulan dan Kencanawungu.
Terjemahan itu menjadi salah satu materi penyiaran ”Khasanah Budaya” di Radio Suara Pemerintah Daerah (RSPD) Gagak Rimang Blora. Acara yang diperdengarkan setiap Kamis malam itu menjadi sarana Yayasan Mahameru menyerukan materi seni, budaya, dan sejarah Blora.
Perdagangan marak
Meski jejaring pelindung dan pelestarian benda-benda cagar budaya telah dia lakukan, Gatot merasa upaya itu belum maksimal. Pasalnya, banyak benda cagar budaya yang dijual keluar Blora. Misalnya di Desa Medalem, Kecamatan Kradenan, fosil tengkorak buaya purba dijual dengan harga Rp 300.000, sedang fosil gading gajah ditukar dengan empat kambing.
Belakangan ini, fosil gading gajah purba yang ditemukan akhir 2008 itu pun ditawar pemburu fosil dan benda kuno seharga Rp 5 juta. Para pemburu itu kebanyakan berasal dari luar Blora.
Menurut Gatot, salah satu faktor penyebab mudahnya benda cagar budaya beralih tangan adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti penting benda tersebut. Mereka cenderung memerhatikan kebutuhan perut sehingga dengan mudah mengalihtangankan benda temuan kepada pemburu fosil dan benda kuno.
”Para pemburu memanfaatkan peluang itu dengan iming-iming uang sampai jutaan rupiah,” katanya.
Untuk mencegah perdagangan benda cagar budaya, kata Gatot, diperlukan pendidikan budaya dan sejarah berbasis masyarakat. Hal ini menjadi tugas bersama pemerintah dan kelompok peduli benda cagar budaya.
”Pemerintah perlu membentuk jaringan pelindung cagar budaya berbasis masyarakat di situs-situs sejarah, supaya benda bersejarah bangsa ini tak hilang,” tambahnya.

BIODATA
Nama: Gatot Pranoto
Lahir: Blora, 9 Oktober 1959
Anak:
- Laksmi Ekowati (29)
- Danang Widi Santoso (24)
Pendidikan:
- SD Latihan (SDL) 14 Blora
- SMPN 1 Blora
- SMAN 1 Blora
- Sarjana Muda Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Pekerjaan:
- Ketua Yayasan Mahameru dan Kepala Museum Mahameru Blora
Penghargaan:
- Dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah 2007 untuk Permuseuman dan Kepurbakalaan