MUSEUM Mahameru yang terletak di kompleks wisata Taman Tirtonadi Blora menyimpan banyak koleksi benda bersejarah peninggalan zaman kerajaan di Indonesia. Benda-benda itu hampir seluruhnya ditemukan di Blora. Dari sekian banyak koleksi yang tersimpan itu sebagian bernuansa islam. Itu ditunjukkan dengan terdapatkan huruf arab pada benda-benda tersebut. Selain itu, ada Alquran tulisan tangan, tafsir Alquran, dan kitab-kitab karangan ulama terdahulu. Hanya tidak diketahui dengan pasti kapan kitab-kitab itu dibuat. “Kami perkirakan kitab itu dibuat sebelum Islam masuk di Blora,” ujar Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto.
Indikasinya, antara lain didapat dari keterangan sejumlah warga bahwa kitab yang kini disimpan di lemari kaca itu dibuat tahun 849 Hijriah (1428 Masehi) oleh ulama mesir.
Kitab tersebut bertuliskan tangan dengan tinta hitam. Bahan yang digunakan berupa kertas kuno. Kitab itu adalah Tafsir Jalalain, berisi tafsir Alquran surat Al Kahfi sampai Juz 29, ditulis Syeh As-Suyuti dari Mesir. Dari beberapa benda koleksi bernuansa islam di Museum Mahameru, terdapat Cupu (batu berongga) dari Desa Jiken, Kecamatan Jiken.
Ketua Yayasan Mahameru, Gatot Pranoto, menyebutkan, di dalam Cupu berisi medali atau bandul perunggu yang bertuliskan huruf arab. Konon ceritanya, Cupu tersebut peninggalan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Ketika perang melawan penjajah Belanda di tahun 1825-1830 Masehi, Pangeran Diponegoro membekali para pengikutnya dengan benda-benda yang mampu membangkitkan kepercayaan diri. “Bisa jadi salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro itu adalah orang Blora,” tandasnya.
Benda koleksi Museum Mahameru lainnya yang bernuansa islam adalah Kitab Ushul. Kitab itu terdiri atas tiga pokok bahasan yaitu Ilmu Tauhid karangan Ibnu Abbas Ahmad, tanya jawab tentang Ilmu Fiqih dan Tauhid, serta tentang Ummu Barohim dan Fathul Mubin karangan Imam Sanusi.
Dari tulisan di dalam kitab diketahui, pemilik kitab tulisan tangan itu adalah Muhammad Munasir, Desa Sukorame, Distrik Tunjungan, Blora. Ada juga kitab yang terdiri atas tiga pokok bahasan, yaitu Sayidina (masalah tanya jawab tentang ilmu islam), MaĆrifatul Imam wal Islam tentang ilmu Tauhid, dan Fiqih karangan Abbas Ahmad dan kitab Ushul tentang dasar-dasar ilmu Fiqih.
Selain itu, ada Alquran tulisan tangan dari Surat Al Baqarah sampai surat Ibrahim. Gatot Pranoto menyebutkan, benda-benda tersebut merupakan hibah dari sejumlah warga di Blora. “Itu terkait erat dengan penyebaran agama Islam di Blora,” tandasnya.
Sejumlah versi sejarah menyebutkan, Islam kali pertama di Blora disebarkan Sunan Pojok. Selain keturunan dari para walisongo, Sunan Pojok juga mempunyai hubungan kedekatan†dengan budaya dan kesenian Yogyakarta. Sejarah itu pernah dikemukakan Kanjeng Raden Tumenggung H Harjono Nitidipuro yang datang bersama 14 orang abdi dalem dari Yogyakarta, khusus untuk menceritakan napak tilas sejarah Blora pada malam pengajian dalam rangka Haul Sunan Pojok tahun lalu.
Harjono Nitidipuro adalah salah seorang keturunan Sunan Pojok. Menurutnya Sunan Pojok sangat dekat dan setia pada Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.
Semasa hidupnya dikenal dengan nama Pangeran Surabahu atau Syaikh Amirullah Abdulrahim, yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Dewi Candrawati binti Arya Tejo Bupati Tuban, serta keturunan dari Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang Panolan.
Tugas yang diemban Sunan Pojok pada masa kejayaan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645) sangat berat. Yakni menghadapi VOC dan beberapa adipati seperti Tuban, Pati, Pasuruan, Surabaya yang masih mbalelo terhadap Sultan Mataram kala itu.
Sunan Pojok yang kala itu menjadi panglima perang, berhasil menuntaskan pekerjaannya dengan kemenangan yang diraih pada 20 November 1626. Usai menjalankan tugasnya, Sunan Pojok kembali ke Blora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar